Seputar Dunia Pendidikan

Wednesday, 1 May 2019

Puisi-Puisi Sunaryo JW - Haluan Padang



TAMSIL PIYAU
; bagi Dim

Kau serupa piyau di kali Subayang
sedang aku penumpang yang telat datang

juru mudimu tentu keberatan
jika aku ingin mengemudikan dikau

kerna memang setiap piyau punya
kapasitas penumpang masing-masing.

‘Cukup satu juru mudi bagiku’ katamu.

‘Tapi aku ingin meminangmu, Sayang’ kataku.

‘Tidak, pergilah mencari piyau lain!’ katamu

sambil kau jelaskan padaku, kalau tak lama lagi
juru mudi itu akan membawamu menyusuri kali Subayang.

Astaga!

Kini, akupun berjalan ke tepi kali
menghanyutkan kembang yang terlanjur
mekar di hatiku ini

Selamat jalan.

------------------
Medan – 2019
------------------

KEPADA DIM

Diam diam kubaca kembali
buku catatan bulan april tahun lalu

aku sedang mencari sebuah rahasia
yang sempat kuberitahukan padamu

meski (mungkin) kini rahasia pada buku catatanku
berbeda dengan rahasia pada buku catatan milikmu

“Aku telah mulai perjalanan ini!
meski belum kutahu dimana akan berhenti” kataku

Aku sendiri, sebab di jalan ini
tak ada tanda yang bisa kubaca

tapi aku ingin menujumu
yang mungkin rumah atau sekadar entah
aku belum bisa menerjemahkannya.

“Hei!

berhentilah menulis tentang saya!
saya telah membangun rumah lain di sini” katamu

“Diamlah!

jangan mengganggu saya bersamadi
kau tak perlu khawatir, sebab saya tahu
kapan mesti meletakkan tanda titik

pada buku catatan ini!” jawabku.

------------------
Medan – 2019
------------------

DI KEBUN KOPI TYYANA

Tak ada orang bicara politik di sini
tak akan ada, tak mungkin juga ada

bahkan kami tak ingin menduga-duga
siapa menang, siapa kalah dalam pilkada

sebab kami lebih percaya
bahasa petani daripada politisi.

Saya kira lebih berfaedah menikmati aroma sedap
biji kopi yang digoreng secara tradisional daripada
duduk & mendengar sabda basi para politisi.

‘Apatis betul kau dengan politisi!’ ketus seorang kawanku

‘Oh, sebenarnya tidak, kawan!

hanya saja, akhir-akhir ini memang saya
tak ingin terlalu banyak mendengar teori.”

Sudahlah, sebaiknya kita cukup menikmati kopi saja
tak perlu bicara soal politisi di istana seorang petani.

---------------------------------
Padangsidempuan – 2018
---------------------------------

MEMBUNUH MAMAK YANG LAIN

(a)

Di kota tanpa introspeksi itu
aku mendengar anak-anak berkata:

‘Heroin tak lain mamak yang melahirkan
segala kedamaian; tak ada yang boleh melarang

kami hidup dan menetek pada mamak!’

begitulah setiap hari, aku melihat anak-anak itu
mengisap puting mamak tanpa jeda; di trotoar,
di parkiran bahkan di kantin sekolahan

mengisap puting mamak seakan ibadah yang wajib dijalankan.
(b)

Lalu kubayangkan jika setiap anak yang lahir dari rahim
semua mamak memiliki mamak yang lain di luar rumah mereka

mungkin rumah hanya akan jadi sekadar halte
atau mungkin sebuah ruang tunggu di bandara

dan anak-anak itu akan terus bersabda:

‘Tak pernah ada mamak sehebat heroin di dunia ini
heroin bisa mengajak anak-anaknya keliling angkasa

melihat dunia dengan cara lainnya.’

(c)

Tapi di sini, di kota tanpa introspeksi
kita mesti menolak jadi semacam negasi

kerna anak-anak tak lain daun jati
yang gugur tepat di arus kali;

mereka masih bisa diselamatkan!

Sekarang, kita mesti mengetuk pintu-pintu lain dalam dirinya
sebelum mamak yang lain mendekap lebih erat tubuh mereka;


Ya!

Anak-anak mesti dibangunkan
Anak-anak mesti diingatkan

bahwa yang tersekap di balik pintu lain
adalah mamak kandung mereka sendiri.

--------------------------------
Padangsidempuan – 2018
--------------------------------

Dimuat Haluan Padang, 26 April 2019