Kecerdasan Profesi
Membajak sudah jelas kerja petani, bukan kerja dosen perguruan tinggi. Kalau mereka ikut-ikutan membajak, sama dengan mereka melecehkan profesi petani. Saya menaruh hormat kepada dosen urakan yang mampu mengubah pola pikir, tinimbang dosen rapi yang hanya mempersempit, atau malah mengotori pola pikir mahasiswanya.
Lucunya, di Kota Padangsidempuan banyak akademisi (dosen) yang tidak tahu malu, mereka sangat percaya diri dan bangga dengan status kedosenannya, padahal mereka sedang merendahkan profesi petani. Mereka yang seharusnya cerdas berprofesi, justru tidak mencerminkan kecerdasan yang dibangga-banggakannya itu di lingkungan kampusnya.
Berkedok kegiatan mahasiswa, biasanya dosen perguruan tinggi beralih peran jadi petani berdasi. Para dosen yang beralih peran akan melupakan TUPOKSI sementara waktu, tapi ada juga yang melupakan selamanya. Lebih parah lagi, mereka tidak hanya rajin membajak mahasiswa, melainkan sesama dosen (dosen baik) yang memang benar-benar lurus, dan cerdas dalam berprofesi.
Hal ini sengaja mereka lakukan karena takut bila dosen yang benar-benar cerdas berprofesi itu akan mengancam keberadaan mereka saat membajak mahasiswa (terutama mahasiswa baru, dan mahasiswa semester akhir). Kasihan betul masyarakat yang berprofesi sebagai petani kalau pekerjaan mereka diambil alih para akademisi (dosen) perguruan tinggi.
Dalam masalah ini, seharusnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) berada di garis depan untuk membela hak mahasiswa-BEM harus mendalami keluhan mahasiswa yang merasa tertekan dengan tindakan dosen. Karena pemegang kebijakan tertinggi di kalangan mahasiswa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Tidak bisa dipungkiri, banyak oknum yang memanfaatkan kegiatan mahasiswa sebagai ajang memperkaya diri; salah satunya dosen. Dosen tipe ini biasanya tidak paham apa-apa, hakikat kedosenannya pun perlu diragukan! Tapi, di sini mereka akan menjelma manusia yang sok paham betul tentang segala hal, sebenarnya mereka bodoh.
Dalam kekacauan ini, BEM seharusnya hadir di tengah masyarakat kampus yang terlanjur takut. Mereka harus cerdas mengkaji permasalahan dengan turun langsung mencari tahu, dan mendengar betul suara mahasiswa yang diam karena tekanan dosen-BEM harus betul-betul memperjuangkan hak mahasiswa yang tertekan ini, karena yang memilih mereka adalah mahasiswa bukan dosen.
BEM bersama dosen bidang kemahasiswaan orang yang paling bertanggungjawab atas masalah ini-bukan malah ikut mendukung tindakan dosen yang memanfaatkan moment. Mereka harus cerdas mengkaji persoalan; kenapa mahasiswa yang awalnya di belakang bicara menolak, tiba-tiba diam dan meng-iya-kan sesuatu saat dihadapkan dengan dosen.
Kalau memang mereka cerdas berprofesi, di sini mereka seharusnya menaruh curiga. Tapi, celakanya di Padang Sidempuan ini berbeda-hanya beberapa kampus di Padang Sidempuan yang organisasi BEM-nya perduli terhadap kesejahteraan masyarakat kampus yang dipimpinnya-selebihnya mandul.
Memang betul, melogika keadaan bukan hal yang mudah, juga tidak semua orang bisa menggunakan kepekaan mereka untuk mencurigai keadaan yang tak logis. Tapi di sinilah sebenarnya profesi mereka diuji. Apakah mereka hanya mampu menggunakan logika untuk mengkaji keuntungan pribadi, atau mereka menggunakan logika untuk mengkaji ketidaklogisan yang terjadi di dalam kampusnya.
Melepas jubah kebesaran
Seorang pemimpin yang adil bukan yang enak-enakan duduk di kursi membanggakan jubah kebesarannya. Mereka yang betul-betul membela rakyat harus melepas jubah untuk menelusuri keadaan di masyarakat. Tak jarang pemimpin yang menyamar jadi masyarakat biasa untuk menelusuri kejahatan anggotanya. Mereka (pemimpin) yang benar-benar membela kesejahteraan masyarakat tidak akan malu sekalipun harus menyamar jadi tukang sapu.
Seperti dimuat Merdeka.Com, Selasa, 18 Oktober 2016. Seorang Kapolda Sumsel Irjen Pol Djoko Prastowo, yang menyamar sebagai warga sipil dan berpura-pura melanggar lalu lintas. Hasilnya, Djoko menemukan kejadian itu dan menangkap langsung anggota Polri yang melakukan pungli.
Bukan hanya Kapolda Sumsel yang sempat menyamar, Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam IM) Mayjen TNI Agus Kriswanto juga pernah menyamar jadi penarik becak motor (Betor), saat menyidak asrama TNI PHB Lampriet Banda Aceh, untuk melihat kesiapan dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan RI Ke-70. Berita ini dimuat oleh DetikNews, Minggu (16/8/2015). Dalam hal ini, saya menganggap mereka paham dan cerdas dalam berprofesi.
Kembali pada cerita sebelumnya, permasalahan yang timbul di kalangan mahasiswa seharusnya ditangkap oleh BEM, dan mereka wajib menelusuri sampai akar permasalahan. Semua itu harus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan serta kenyamanan mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Di sini, dosen bidang kemahasiswaan juga harus menjembatani suara mahasiswa yang disampaikan oleh BEM. Dosen bidang kemahasiswaan tak boleh bersikap subjektif, dia harus netral. Begitu juga saat menyikapi masalah, dia tak boleh pro kepada dosen yang diduga melakukan tindakan intervensi kepada mahasiswa.
Jabatannya saja bidang kemahasiswaan, ya harus siap mendengar keluh-kesah mahasiswa-bukan malah menutupi kebusukan rekan sejawat mereka (dosen), dengan mengadu domba mahasiswa. Orang yang pantas menduduki posisi bidang kemahasiswaan ini memang harus pandai menimbang, bukan pandai menghitung untung di belakang.
Karena, dalam setiap permasalahan yang terjadi di kalangan mahasiswa, bidang kemahasiswaan dituntut harus cerdas berprofesi. Sekalipun di mejanya ada bukti surat pernyataan mahasiswa telah meng-iya-kan sesuatu yang awalnya mereka tolak, dia tak boleh percaya begitu saja. Dia harus melepas jubah kebesarannya dan turun langsung-dia harus bisa melogika ketidaklogisan ini.
Tapi sekali lagi, hanya beberapa kampus di Padang Sidempuan yang memiliki dosen kemahasiswaan cerdas dalam berprofesi, selebihnya mandul. Di sini, Badan Eksekutif Mahasiswa juga mayoritas hanya patuh dan taat terhadap perintah dosen tinimbang membela kesejahteraan rakyat kampus (mahasiswa).
Padahal, rata-rata tempat pendidikan di kota Padang Sidempuan berusia puluhan tahun. Usia ini kalau diibaratkan manusia, mungkin saat ini mereka sudah paruh baya. Jika dalam usia paruh baya tidak juga bisa menjadi contoh, lantas mengapa mereka bersikeras menyebut kota ini sebagai Kota Pendidikan?
Alangkah lucunya dunia pendidikan di kota ini, kota pendidikan yang seharusnya mampu memproduksi SDM berkualitas, malah lebih produktif melahirkan dan memelihara angkatan gagap yang tidak cerdas berprofesi. Miris!***
Sunaryo JW
Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/kecerdasan-profesi/485242/2018/01/13
gas terus Bung!
ReplyDeleteselamat, astungkara
Siap, Bung!
DeleteTengkyu sudah berkunjung, Bung.
Salam!