Seputar Dunia Pendidikan

Showing posts with label Sunaryo JW. Show all posts
Showing posts with label Sunaryo JW. Show all posts

Wednesday, 1 May 2019

Puisi-Puisi Sunaryo JW - Haluan Padang



TAMSIL PIYAU
; bagi Dim

Kau serupa piyau di kali Subayang
sedang aku penumpang yang telat datang

juru mudimu tentu keberatan
jika aku ingin mengemudikan dikau

kerna memang setiap piyau punya
kapasitas penumpang masing-masing.

‘Cukup satu juru mudi bagiku’ katamu.

‘Tapi aku ingin meminangmu, Sayang’ kataku.

‘Tidak, pergilah mencari piyau lain!’ katamu

sambil kau jelaskan padaku, kalau tak lama lagi
juru mudi itu akan membawamu menyusuri kali Subayang.

Astaga!

Kini, akupun berjalan ke tepi kali
menghanyutkan kembang yang terlanjur
mekar di hatiku ini

Selamat jalan.

------------------
Medan – 2019
------------------

KEPADA DIM

Diam diam kubaca kembali
buku catatan bulan april tahun lalu

aku sedang mencari sebuah rahasia
yang sempat kuberitahukan padamu

meski (mungkin) kini rahasia pada buku catatanku
berbeda dengan rahasia pada buku catatan milikmu

“Aku telah mulai perjalanan ini!
meski belum kutahu dimana akan berhenti” kataku

Aku sendiri, sebab di jalan ini
tak ada tanda yang bisa kubaca

tapi aku ingin menujumu
yang mungkin rumah atau sekadar entah
aku belum bisa menerjemahkannya.

“Hei!

berhentilah menulis tentang saya!
saya telah membangun rumah lain di sini” katamu

“Diamlah!

jangan mengganggu saya bersamadi
kau tak perlu khawatir, sebab saya tahu
kapan mesti meletakkan tanda titik

pada buku catatan ini!” jawabku.

------------------
Medan – 2019
------------------

DI KEBUN KOPI TYYANA

Tak ada orang bicara politik di sini
tak akan ada, tak mungkin juga ada

bahkan kami tak ingin menduga-duga
siapa menang, siapa kalah dalam pilkada

sebab kami lebih percaya
bahasa petani daripada politisi.

Saya kira lebih berfaedah menikmati aroma sedap
biji kopi yang digoreng secara tradisional daripada
duduk & mendengar sabda basi para politisi.

‘Apatis betul kau dengan politisi!’ ketus seorang kawanku

‘Oh, sebenarnya tidak, kawan!

hanya saja, akhir-akhir ini memang saya
tak ingin terlalu banyak mendengar teori.”

Sudahlah, sebaiknya kita cukup menikmati kopi saja
tak perlu bicara soal politisi di istana seorang petani.

---------------------------------
Padangsidempuan – 2018
---------------------------------

MEMBUNUH MAMAK YANG LAIN

(a)

Di kota tanpa introspeksi itu
aku mendengar anak-anak berkata:

‘Heroin tak lain mamak yang melahirkan
segala kedamaian; tak ada yang boleh melarang

kami hidup dan menetek pada mamak!’

begitulah setiap hari, aku melihat anak-anak itu
mengisap puting mamak tanpa jeda; di trotoar,
di parkiran bahkan di kantin sekolahan

mengisap puting mamak seakan ibadah yang wajib dijalankan.
(b)

Lalu kubayangkan jika setiap anak yang lahir dari rahim
semua mamak memiliki mamak yang lain di luar rumah mereka

mungkin rumah hanya akan jadi sekadar halte
atau mungkin sebuah ruang tunggu di bandara

dan anak-anak itu akan terus bersabda:

‘Tak pernah ada mamak sehebat heroin di dunia ini
heroin bisa mengajak anak-anaknya keliling angkasa

melihat dunia dengan cara lainnya.’

(c)

Tapi di sini, di kota tanpa introspeksi
kita mesti menolak jadi semacam negasi

kerna anak-anak tak lain daun jati
yang gugur tepat di arus kali;

mereka masih bisa diselamatkan!

Sekarang, kita mesti mengetuk pintu-pintu lain dalam dirinya
sebelum mamak yang lain mendekap lebih erat tubuh mereka;


Ya!

Anak-anak mesti dibangunkan
Anak-anak mesti diingatkan

bahwa yang tersekap di balik pintu lain
adalah mamak kandung mereka sendiri.

--------------------------------
Padangsidempuan – 2018
--------------------------------

Dimuat Haluan Padang, 26 April 2019

Sunday, 27 January 2019

Rusaknya Pola Pikir Orang-Orang Berpendidikan


gambar : google

“Kejahatan yang sebenarnya adalah melarang mahasiswa mengkritisi ketidakwajaran yang terjadi dalam kampusnya sendiri”.

Menghalangi mahasiswa melakukan hal yang seharusnya dilakukan (mengkritisi ketidakwajaran) menurut saya penyimpangan paling fatal yang dilakukan kalangan dosen. Apa sebenarnya yang mereka takutkan dari kritik?!

Tak ada yang berkurang sebenarnya setelah mendapat kritikan, malah seharusnya dari kritik tersebut mereka bisa mengubah hal-hal yang memang tak pantas dilakukan oleh seorang tenaga pendidik. Tapi nyatanya masih banyak dosen tidak terima ketika dikritik kesalahannya, lucunya lagi kadang ada dosen justru mengintimidasi mahasiswa yang mengkritik tersebut.

Di zaman kuliah dulu, saya sering menyaksikan adik-adik mahasiswa diberi nilai buruk, bahkan sampai dibenci dosen-dosen ketika ikut mengkritisi kebijakan kampus. Saya juga mengalami, tapi sudah kebal diperlakukan seperti itu. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan, sebenarnya disaat itu saya merasa bersalah pada adik-adik mahasiswa karena mengajak mereka melawan ketidakwajaran yang terjadi di rumah kami sendiri.

Alangkah lucunya dunia pendidikan tinggi saat ini, hal yang salah malah matimatian dibela dan dilindungi, sementara hal yang seharusnya dilakukan malah dimatikan dengan dalih menjaga nama baik perguruan tinggi.

Menanam Benih Dendam

Saya kira ada hal yang luput dari ingatan banyak dosen, yakni benih dendam. Ya, benih dendam amat berbahaya jika ditanam dan disiram hingga subur di hati para mahasiswa, apalagi sampai bertahun-tahun lamanya.

Dendam jelas perasaan tidak terima karena orang merasa diperlakukan tidak adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan tindakan balasan, yakni kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan akan terus melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus. (Wattimena, 2016: 20)

Saya khawatir misalnya benih dendam itu ditanam di hati mahasiswa pendidikan guru, ia nanti akan menjadi guru yang membalas perlakuan dosen di masa lalu pada peserta didiknya. Atau, menanam benih dendam di hati mahasiswa yang berbakat menjadi poitisi, ia nanti akan menjadi politisi dan menghalkan perilaku tidak wajar yang ia dapatkan semasa kuliah.

Entah jadi apa Indonesia ke depan jika dunia pendidikan terus melahirkan manusia-manusia cacat pola pikir seperti itu.

Tapi mungkin selama ini hanya mahasiswa yang dijadikan sasaran utama atas kemunduran dunia pendidikan Indonesia. Misalnya ada mahasiswa melakukan hal di luar batas, pasti orang-orang ramai menghakimi mahasiswa, tapi kenapa pada dosen tidak?

Padahal tak semua dosen di kampus-kampus punya nalar lurus, mereka juga banyak yang terjerumus dalam perbuatan yang seolaholah benar, padahal salah besar—misalnya mengolah mahasiswa, mengintimidasi mahasiswa, bahkan ada yang sempat melecehkan mahasiswa. Tapi kenapa jarang ada pembahasan lebih lanjut misalnya ada dosen melakukan kesalahan?!

Saya ceritakan hal kecil yang saya alami ketika zaman kuliah dulu, sudah jelas ada dosen melakukan pembajakan mahasiswa baru tapi masih dilindungi oleh petinggi kampus, dan pihak kampus bersama dosen tersebut malah menjadikan mahasiswa sebagai tumbalnya.

Atau seperti kasus dosen yang melempar mahasiswi dengan draf disertasinya sendiri di Riau, hingga mahasiswi tersebut melaporkan masalah yang terjadi ke pihak berwajib. Ada memang pembahasan, tapi hanya sebentar dan tak membuat dosen memiliki predikat buruk, atau tak bermoral, beda hal dengan mahasiswa ketika mengkritisi suatu ketidakwajaran.

Mahasiswa ketika mengkritik suatu ketidakwajaran akan langsung dicap tak bermoral, tak bertika oleh kalangan dosen, termasuk juga cap dari masyarakat luar. Contohnya, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi akan langsung dicap “pasukan nasi bungkus”, daripada demo mending belajar yang benar, mahasiswa zaman sekarang moralnya buruk dan banyak lagi penilaian-penilaian miring lainnya. Saya heran melihat keadaan ini, kenapa mereka gampang menilai apa yang mereka sendiri tidak tahu.

Apa mereka tahu masalah apa yang terjadi di lembaga pendidikan, yang membuat mahasiswa melakukan hal di luar kendali? Apa mereka tahu kelakuan dosen pada mahasiswa hingga mahasiswa melakukan perlawanan? Apa mereka tahu kalau di lembaga pendidikan ada dosen berotak berantakan? Apa mereka tahu nasib dosen-dosen profesional akibat perilaku dosen tak professional itu?

Mereka tahu pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan adalah hal sepele, atau sangat umum dan semua orang tahu, tapi yang saya sayangkan adalah kenapa mereka tak juga mengubah pola pikir ketika mengkaji masalah yang terjadi saat ini. Menurut saya, perilaku semacam itu menandakan bahwa saat ini banyak pola pikir orang-orang berpendidikan mengalami gangguan.

Jadi, misalnya ada seorang dosen matimatian menghalangi mahasiswa bersikap kritis terhadap sesuatu yang tidak wajar, perlu Anda tanya apakah saat dosen tersebut melamar pekerjaan di kampus Anda dulu dalam keadaan waras atau sedang mengalami gangguan jiwa.

Jadi Dosen Untuk Apa?!

Banyak orang berambisi kuliah S2 biar bisa jadi dosen, untuk apa?! Biar bisa pamer ke kawan-kawan karena jadi dosen, biar merasa jadi dewa dan selalu ingin dihormati mahasiswa, atau memang benarbenar ingin memperbaiki pola pikir generasi muda dan memajukan dunia pendidikan Indonesia?

Atau malah ada yang termotivasi jadi dosen agar bisa membalas perlakuan dosen selama kuliah dulu sambil bersabda: “Ini mendidik mental kalian, seperti kami dididik dosen dulu waktu kuliah!”

Itu sabda sampah yang sering saya dengar dari kalangan dosen ketika ada mahasiswa mengeluh atas perlakuan dosen pada dirinya. Banyak dosen bersabda seperti itu agar terhindar dari kritik, atau untuk sekadar mencari muka pada petinggi perguruan tinggi agar terlihat bahwa ia adalah seorang dosen profesional.

Di Indonesia ini banyak sekali dosen yang gemar melakukan pseudo agar terlihat seolaholah intelek, bermoral, beretika, dan profesional. Padahal pseudo berbahaya jika dilakukan kalangan dosen, karena bisa menyebabkan kerusakan pada pola pikir generasi muda ke depannya.

Saya khawatir mereka akan menganggap benar segala hal yang dilakukan para dosen meskipun perbuatan itu salah dan merugikan banyak pihak. Mari berpikir!* || sunaryo jw

Friday, 2 November 2018

Puisi-Puisi Sunaryo JW



POTRET LEMBAGA PENDIDIKAN

/1/

Lembaga pendidikan, kereta api
mogok di terowongan panjang
tanpa lampu;

ada penumpang teriak minta tolong
ada penumpang diam seperti batu

ada penumpang marah-marah
minta petugas nyalakan lampu

ada penumpang bicara:

‘Sudahlah, kau tak usah marah-marah
duduk saja di bangkumu, kita semua
pasti keluar dari terowongan gelap ini.’

tapi,

ada penumpang milih bertahan
ada penumpang resah keluar pintu

—jalan kaki, menjauhi kereta itu
mencari ujung terowongan sendiri.

/2/

Penumpang dan kereta, telur ayam
dengan induk yang mengeraminya;

ada telur jadi anak ayam jantan
ada telur jadi anak ayam betina

ada telur tak jadi apa-apa!

/3/

Alangkah banyak kereta
mogok di terowongan
tanpa lampu;

tapi penumpang tak lagi
mau berpikir menyalakan api

penumpang tak lagi
mau belajar pada arus kali

penumpang memilih diam
beriman pada ketakutan

dan mazhab para masinis
yang beriman pada kemunafikan.

dan akhirnya, lembaga-lembaga pendidikan itu
hanya mampu melahirkan intelektual-intelektual
munafik berijazah, dari zaman ke zaman.

---------------------------------------
Padangsidempuan, Juli 2018
--------------------------------------- 

KESIMPULAN

Ini mungkin bukan kota
tapi semacam tulisan tanpa tanda baca;

ada kendaraan bebas parkir
di trotoar depan kantor wali kota

ada lembaga pendidikan macet
meghasilkan intelektual jujur

tapi kenapa kalian sebut ini
kota pendidikan?

Di sini aku bahkan tak melihat
lampu merah, apalagi museum.

‘Ois dah!

Kau ini seperti bocah yang baru belajar
mengeja huruf dan angka-angka saja;

ini kota kan kita punya
kau juga bisa melakukan apa saja di sini,

tapi, ya, kau harus bisalah
bergaul dengan mereka’ katamu.

‘Punya dua muka maksudmu?’

‘Nah, tepat sekali, kerna hanya orang orang semacam itulah
yang dijamin aman sentosa hidup di sini;

apabila kau memaksakan diri jadi semacam konjungsi
sungguh, tak akan nyaman hidup di sini’ katamu.

Ah…!

Mungkin aku lebih nyaman jika pergi saja.

-------------------------------------------
Padangsidempuan, Agustus 2018
-------------------------------------------


Saturday, 27 October 2018

Tak Perlu Kuliah, Asal Punya Tujuan


Lebih baik tak usah kuliah, jika kuliah hanya untuk terlihat “keren”; orang kuliah mesti punya tujuan, bukan cuma untuk sekadar pamer gelar (Sarjana, Magister dan Doktor) di depan orang-orang yang tak kuliah. Tapi mirisnya, di zaman ini justru banyak orang memilih kuliah agar dipandang berwibawa saja, tak banyak yang benar-benar berpikir dirinya kuliah untuk tujuan apa.

Meski pada akhirnya seseorang yang kuliah akan menyandang gelar, tapi sebenarnya gelar tak selamanya bisa dijadikan indikator untuk menilai kualitas seseorang. Karena belum tentu orang dengan banyak gelar lebih berkualitas dibanding orang tanpa gelar, atau bahkan tak tamat sekolah dasar. Mungkin sekadar contoh, para “koruptor di Indonesia”. Para koruptor di Indonesia ini rata-rata bergelar tinggi dan bahkan ada yang tamatan luar negeri; tapi tak perlulah saya sebut satu per satu orang-orang itu di sini, karena kita sudah saling tahu bahwa di Indonesia amat banyak sekali koruptor.

Tak hanya para koruptor sebenarnya, dosen-dosen di zaman ini pun sebenarnya banyak yang tak berkualitas. Masih banyak perguruan tinggi di Indonesia ini yang memelihara orang yang tak sepantasnya jadi dosen; mereka pun digaji, dan kadang mencari tambahan uang masuk dari “mengolah mahasiswa”. Mereka itu rata-rata bergelar Magister, malah ada juga yang bergelar Doktor.

Ada beberapa kemungkinan kenapa orang-orang semacam mereka bisa menjadi dosen di perguruan tinggi, antara lain: mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan (atau malah hubungan asmara) dengan petinggi perguruan tinggi, atau bisa jadi memang perguruan tinggi itu yang tidak selektif ketika menerima tenaga pengajar bagi perguruan tinggi itu sendiri. Saya kira orang-orang seperti merekalah yang menghambat kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.

Selain menghambat kemajuan SDM, sebenarnya mereka juga menjadi penghalang bagi para dosen berkualitas untuk menciptakan perubahan. Karena dosen-dosen berkualitas pasti kalah dengan orang semacam mereka; dosen berkualitas tak pandai “menjilat” sementara mereka kalau tak “menjilat” tak akan puas rasanya hidup mereka. Namun sayangnya, populasi dosen berkualitas saat ini tak banyak, sehingga citra “profesi dosen” kini tak jarang dipandang hina akibat ulah orang-orang yang tak seharusnya menjadi dosen itu.

Dugaan saya, sewaktu kuliah orang-orang seperti mereka memang tak pernah berpikir ingin mengubah tradisi basi yang ada selama ini, makanya ketika mereka (merasa) jadi dosen pun tak pantas digugu dan ditiru—malah pantasnya mereka didepak dari perguruan tinggi itu segera.

Selalu Menghamba Pada Yang Salah

Entah kenapa di zaman ini semakin banyak dosen menghamba pada yang salah, bahkan matimatian berusaha menyingkirkan dosen-dosen yang tak mau mengikuti sistem pada perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Sebenarnya mereka tahu perbuatan mereka salah, tapi karena alasan jabatan mereka pun rela menggadaikan kejernihan berpikir demi membela ketidakwajaran.

Lalu apa artinya orang-orang itu dulu kuliah tinggi kalau hanya untuk beriman pada ketidakwajaran? Orang-orang itu juga nyaman menjadi hamba pemilik perguruan tinggi, dan demi jabatan dan gaji bulanan mereka akan selalu siap memberantas dosen-dosen (atau mahasiswa) yang tak setuju dengan sistem di dalamnya.

Keadaan di atas sekilas mirip dengan keadaan kaum buruh Rusia yang dijelaskan Lenin dalam bukunya, Kepada Kaum Miskin Desa (1903); “Semua rakyat dalam keseluruhannya tetap tinggal hamba kaum birokrat, persis seperti petani-petani dulu adalah hamba tuan tanah”. Begitu juga yang terjadi pada dosen di banyak perguruan tinggi Indonesia saat ini; banyak orang-orang bergelar tinggi hanya jadi hamba pemilik perguruan tinggi.

Memang amat disayangkan, bertahun-tahun mereka kuliah dan menghabiskan banyak biaya akhirnya cuma jadi sampah dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Orang-orang itu merasa bangga memiliki gelar dan jabatan di perguruan tinggi, bicaranya melulu soal moral dan etika, tetapi mereka sendiri nyaman hidup dalam kemunafikan.

Jika lembaga pendidikan hanya menyebabkan seseorang jadi tukang olah, lalu untuk apa ada lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah ataupun swasta. Misalnya selama ini lembaga pendidikan dikelola dengan benar dan memiliki tujuan yang jelas, saya yakin tak akan ada sampah di lembaga pendidikan ataupun lembaga pemerintahan.

Dan, apabila sistem dalam lembaga pendidikan telah berjalan seperti seharusnya, maka saya yakin bahwa setiap orang yang kuliah saat ini pasti akan punya tujuan untuk mengubah keadaan, bukan sekadar dapat gelar lalu dipamerkan.

Sebagaimana dikatakan Roem Topitamasang perihal sekolah dan segala macam atribut dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (2010), bahwa sekolah, pada akhirnya memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadah lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan.

Bila kita melihat keadaan saat ini, memang sudah bukan waktunya lagi kita pamer gelar tinggi atau pamer jabatan sebab mengajar di perguruan tinggi. Justru yang seharusnya kita pikirkan saat ini adalah bermanfaat atau tidak lembaga pendidikan bagi kemajuan Sumber Daya Manusia di Indonesia. Tak perlu lagi lembaga pendidikan Indonesia memelihara dosen yang serba seolaholah seperti kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Karena sebenarnya memelihara orang-orang semacam mereka justru akan menyebabkan perguruan tinggi selalu melahirkan sampah-sampah baru di Indonesia. Sekarang mari kita bayangkan apa yang akan terjadi pada dunia pendidikan Indonesia jika dosen-dosen di waktu yang akan datang adalah hasil didikan orang-orang semacam mereka saat ini, lalu dosen-dosen generasi berikutnya juga dididik oleh generasi (sampah) sebelumnya; jawabnya, dunia pendidikan Indonesia akan semakin memprihatinkan.

Misalnya saya diminta berpendapat perihal dunia pendidikan saat ini, maka saya akan mengatakan bahwa kalian tak perlu kuliah, asal punya tujuan—tujuan untuk mengubah sistem yang selama ini disalahgunakan. Dunia pendidikan saat ini benarbenar tak membutuhkan sekadar gelar tinggi, tetapi orang-orang yang berpikir maju dan tidak macet dalam inovasi.*

Sunaryo JW

Wednesday, 24 October 2018

Mahasiswa Tak Boleh Nyaman Melihat Ketidakwajaran


“Jika sawah adalah ladang bagi petani, maka “mahasiswa” adalah ladang bagi para dosen.”

Mungkin seperti itulah realita yang terjadi hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia saat ini; banyak dosen memanfaatkan kekuasaannya untuk membajak para mahasiswa. Tapi bedanya dengan petani mungkin alat kerjanya saja, jika petani memakai cangkul, maka dosen alat kerjanya adalah “moral”.

Magnis-Suseno (dalam Budiningsih, 2008: 24) mengatakan moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Siapapun tentu akan terdiam bila disebut tak bermoral, sama halnya dengan mahasiswa. Mereka jelas lemah atau bahkan bersedih hati menerima predikat baru yang disematkan dosen kepadanya itu. Karena kita sama-sama tahu, bahwa menyinggung soal moral seseorang pasti akan berdampak buruk pada seseorang itu sendiri, apalagi mahasiswa dikatakan tak lagi bermoral hanya karena mendebat pernyataan dosen.

Alangkah bodoh jika dosen justru menghindari perdebatan dengan mahasiswa, bukankah seharusnya dosen membimbing mahasiswa agar bisa berdebat dan mempertahankan argumen secara logis? Seharusnya sih memang begitu, tapi nyatanya saat ini malah banyak dosen tak berani memberi kesempatan mahasiswa untuk berargumen secara logis, malah kalau mahasiswa berani mendebat pernyataannya di kelas justru dikatakan tak punya moral. Amatlah bodoh jika dosen bersikap semacam itu!

Menurut saya, perilaku dosen seperti itulah yang menyebabkan mahasiswa di zaman tak banyak yang memiliki keberanian untuk mengkritisi suatu keadaan. Coba bayangkan jika setiap mahasiswa yang tak sepakat dengan pendapat dosen selalu dikatakan “tak bermoral”, apakah mereka akan berani lagi menyatakan ketidaksepahamannya itu di kemudian hari? Saya rasa mereka akan berpikir dua kali ketika ingin melakukan hal itu.

Saya pun heran, kenapa dosen justru bangga bisa membodohi mahasiswanya sendiri. Sementara dosen itu profesi yang mulia, tapi mereka malah memanfaatkan jabatan itu untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara busuk seperti itu—membodohi dan membajak mahasiswa. Apakah menjadi dosen memang tujuan akhirnya mencari keuntungan dengan cara bodoh begitu? Saya rasa tidak, sebab saya juga pernah bertemu dengan dosen yang profesional; saya anggap dia profesional karena tak mencari keuntungan dengan cara busuk dari profesinya sendiri.

Saya hormat pada dosen yang meski mengeluh atas besarnya tanggung jawab yang diembannya di kampus, tapi selalu bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dengan berbisnis di luar kampusnya, tapi saya tak perlu hormat pada dosen yang mengeluh atas besarnya tanggung jawab di kampus tapi memanfaatkan kegiatan-kegiatan mahasiswa untuk menguntungkan kantong pribadi.

Dosen semacam mereka itu sebenarnya “sampah” yang musti dibakar, bukan malah dilindungi apalagi dipertahankan, karena mereka dapat merusak citra profesi. Tapi sayangnya, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memelihara dosen-dosen seperti mereka daripada dosen yang benar-benar menjaga kemuliaan profesinya sendiri.

Jika begitu, misalnya ada kejadian mahasiswa berbuat di luar kewajaran pada dosen, seharusnya jangan hanya mahasiswa yang selalu disalahkan, tapi perguruan tinggi itu juga mesti mengevaluasi dosen-dosen yang ada di dalam perguruan tinggi itu sendiri.

Jujur, saya bingung melihat fenomena yang terjadi di perguruan tinggi saat ini; ketika dosen melakukan kesalahan justru dilindungi oleh rekan sejawat dan petinggi perguruan tinggi, kadang mereka juga berusaha keras mencari cara agar mahasiswa bisa dijadikan tumbal dalam masalah itu. Tetapi, ketika mahasiswa melakukan hal di luar batas kewajaran, para dosen itupun boleh seenaknya mencaci perbuatan yang dilakukan mahasiswa tanpa introspeksi terlebih dahulu.

Sebenarnya apa fungsi dosen di perguruan tinggi sekarang? Apakah fungsi dosen hanya untuk melahirkan manusia-manusia tak berkualitas, yang hanya tahu mencari keuntungan dengan cara menginjak kepala orang lain? Atau, dosen hanya bertujuan untuk melahirkan generasi-generasi yang tak mampu memecahkan persolan, lalu menggunakan “moral” sebagai senjata agar oranglain tak melihat ketololan dalam dirinya?

Betapa miris menyaksikan keadaan di perguruan tinggi saat ini, tapi entah kenapa tak banyak orang yang mau jujur dan membahas masalah serius ini, khususnya mahasiswa. Apakah mereka takut dikatakan tak bermoral oleh dosen (sampah) itu? Ketahuilah, bahwa dosen bukan tuhan, jadi mereka boleh ditentang jika tak lagi lurus dalam berjalan. Apabila kita selalu memaklumi ketidakwajaran yang terjadi, apalah artinya kita sebagai manusia yang berakal dan berpikir di bumi ini?*


Sunaryo JW

Sunday, 8 July 2018

Puisi-puisi Sunaryo JW - Riau Pos - edisi 3 Juni 2018



DOA BAGI MAWAR
: kepada kawanku, Dimar.

di pucuk subuh yang dingin
setangkai mawar mekar
di taman belakang
rumah Itov Sakha.

‘tapi, mawar yang mekar itu
mungkin, tak bisa
semerah dulu lagi’ kata Ubai
—sebagai ahli mawar
kepercayaan Itov Sakha.

sebab, pernah suatu kali
seorang pengunjung
mematahkan rantingnya.

‘mungkin! kerna merah
pada mawar itu
tidaklah pudar selamanya,

ia hanya perlu waktu
untuk bisa berdaya
dan kekuatan, untuk bisa mekar
bagai sediakala’ sahut Raudah

seorang pengamat mawar
yang diam-diam mendengar
percakapan kami sejak tadi;

kami pun duduk
bertiga, sambil menunggu
mekar kembang fajar.

sambil menunggu
diam-diam aku merapal doa
bagi setangkai mawar yang mekar
di pucuk subuh yang dingin itu;

semoga esok, atau mungkin lusa
tiba waktumu mekar kembali
utuh dengan seluruh
aneka tata warna.

-----------------------------------------
Padangsidempuan, April 2018
-----------------------------------------

BERANG
: kepada presiden mahasiswa kampusku

kau bahkan nyaman sebagai belukar;
gampang dibabat dan dibakar

sementara, mamak kita kau umbar
telanjang terkapar di tanah kasar.

kini, kita pun tak lagi
perlu bertukar kabar;

sebab, kau kini api
dan aku adalah air kali—

air kali tak akan
sekutu pada api;

kenangkanlah,
yang telanjang dan terkapar
adalah tubuh seorang mamak

: mamak yang teraniaya itu
adalah kampus kita sendiri.

------------------------------------------
Padangsidempuan, 20 April 2018
------------------------------------------

KEBOHONGAN PEMILIK RUMAH
: kepada pemilik rumah pendidikan di sidempuan.

dulu, kita pun sepakat akan
meledakkan bom
di rumah warisan bapakmu.

kerna kita sama-sama tahu,
rumah itu telah diambil alih
kawanan penjajah, kau pun

tanpa ragu menjelaskan
posisi berdirimu—demi istri
juga anak-anakmu.

kita pun lalu sepakat
sebelum pukul dua belas
nanti berbagi tugas—

aku meletakkan bom
dan kau meledakkan.

dan…

terwujudlah kesepakatan kita itu—
bom pun meledak beserta aku.

------------------------------------------
Padangsidempuan, April 2018
------------------------------------------

KULIHAT DEBU DI WAJAH MAMAK
: bagi sebuah kampus anti kritik di sidempuan.

kulihat debu di wajah mamak dari mulut tetangga
aku muak, setiap hari mulut tetangga itu meracau;

‘amat tebal debu di wajah mamak
semakin tebal debu di wajah mamak’

wajah mamak adalah gedung-gedung perkuliahan
debu adalah watak-watak impostor
para dosen dan mahasiswa.

wajah mamak adalah gelar strata dan ijazah
debu adalah pungli dan bisnis skripsi, selalu

kulihat debu di wajah mamak dari mulut tetangga
sementara, bapak malah tertawa
—tak sadar bahwa ia sedang

menertawai kebodohannya sendiri.

------------------------------------------
Padangsidempuan, April 2018
------------------------------------------

MENUNGGU KABAR KEKASIH

kepada langit senjakala
aku berkata:

“janganlah tidur terlalu cepat
sebab jarak rumah kekasihku
sangatlah jauh dari kampusnya”

malam!
ya, malam!
janganlah kau buka tirai
secepat biasanya—tunggulah angkot
yang mengantar kekasihku
sampai dulu ke rumahnya

agar kekasihku bisa
secepatnya mengisi daya
telepon gengam miliknya.

--------------------------------------
Padangsidempuan, April 2018
--------------------------------------

PERIHAL KOTA SALAK

1/
Manakala pejabat menyodomi trotoar,
Empu-empu hukum yang rutin
menangkapi walang-walang kecil
di jalan raya
malah berpaling muka.

2/
Bahkan saat penghulu kota madya
membangun vila di tengah kemandulannya
sebagai lelaki beristri,
media justru menyabdakan:

Sebab dialah penghulunya
kota sekarang sehat, maju, dan sejahtera.
Sebab dialah penghulunya
tak ada lagi lubang di jalan kota.

Mari!
sama-sama mengaminkannya.

3/
Alangkah dahsyatnya tuak
di kota salak, cukup setetes
siapa pun sudah mabuk dibuatnya.

Tapi, tentu, ada syaratnya;
tak usah jadi pemberontak,
kalau mau bebas menenggak tuak.
----------------------------------------
Januari 2018
----------------------------------------

SIMARSAYANG
: potret asmara di Sidempuan.

Di pondok satu kali satu itu
Aku mendengar bisik
tipu daya asmara:

‘Percayalah, aku pasti datang
meminangmu, Sayang’

Ia mengangguk.

‘Jangan takut, Sayang,
tak ada yang berani
menangkap kita di sini,
Sebab, mereka pun bayar
uang keamanan’

Lalu, berpadulah
dua pusaka insan
tak berjasa itu

di situ,
di tempat-tempat
yang memang disediakan
untuk orang-orang
memadu pusaka.
----------------------------------------
Januari 2018
----------------------------------------

ELEGI KACA
: terkenang Amel Nasution--korban intimidasi guru
di sekolah, Padangsidempuan.

Amel, sebuah kaca pecah
di ruang tata rias.

'Seorang perempuan melempar kursi, kemarin,'.
kata seekor kutu yang terselip di sisir.
'Ia marah besar, saat tahu ada botak di kepalanya,'.

Amel, sebagai kaca
fungsimu tepat!

Tapi, alangkah malang nasibmu, kau salah
menurut perempuan (botak) itu.

Jadi begini, baginya,
sekalipun kau kaca, tetap kau
tak boleh menampakkan
sisi selain
cantik parasnya.

Amel,
sungguh, sebagai kaca
fungsimu tepat;

Tapi, ya, sekali lagi
kau tetap salah
bagi perempuan
di ruang tata rias itu.

Kerna kau
adalah mimpi buruk
bagi mereka.

----------------------------------------
Batang Pane II, Februari 2018
----------------------------------------

POTRET KKN

Sidempuan kota,
Perempuan dengan lubang bisul
di seluruh badannya.

Kerna ingin terlihat cantik
saat menghadiri pesta perkawinan
siang dengan malam,
Maka, dipakainya gaun termahal
dari Plaza--Indonesia bahkan Eropa.

Tapi, bisul tetap saja bisul,
bisa tumbuh di tangan
bokong, betis, jidat bahkan
di selangkangan.

Sidempuan kota,
Perempuan dengan lubang bisul
di seluruh badannya;
bertaubatlah atas dosa-dosa
megalomaniamu itu.

Sebelum orang-orang lajang tua
yang gagal kawin lantaran
tak punya biaya
bangun dari tidurnya.

Lihatlah!
ada pisau di tangannya.

----------------------------------------
Padangsidempuan, Januari 2018
----------------------------------------

PADANG NADIMPU
-nama sebelum Sidempuan

1 /
Padang Nadimpu.
Sebagai kota
dialah kota tanpa putra-putri
dari tiga lelaki
yang meminangnya.

2 /
Pengemis baris
tak perduli gerimis.
Anak mama
bebas mengisap ganja.

Mereka pun
Tertawa tanpa protes
Umak-Ayahnya.

3 /
Padang Nadimpu.
Bagai etalase rusak
di toko, dan
sepotong arang dalam
comberan.

4 /
Kini, masihkah
Kami harus percaya
Pada pernikahan-
pernikahan berikutnya

Cukup,
Aku rasa tidak!
----------------------------------------
Padangsidempuan, Januari 2018
----------------------------------------