Mahasiswa Tak Boleh Nyaman Melihat Ketidakwajaran
Mungkin seperti itulah realita yang terjadi hampir di seluruh
perguruan tinggi di Indonesia saat ini; banyak dosen memanfaatkan kekuasaannya
untuk membajak para mahasiswa. Tapi bedanya dengan petani mungkin alat kerjanya
saja, jika petani memakai cangkul, maka dosen alat kerjanya adalah “moral”.
Magnis-Suseno
(dalam Budiningsih, 2008: 24) mengatakan moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah
tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.
Siapapun tentu akan terdiam bila disebut tak bermoral, sama halnya dengan
mahasiswa. Mereka jelas lemah atau bahkan bersedih hati menerima predikat baru
yang disematkan dosen kepadanya itu. Karena kita sama-sama tahu, bahwa
menyinggung soal moral seseorang pasti akan berdampak buruk pada seseorang itu
sendiri, apalagi mahasiswa dikatakan tak lagi bermoral hanya karena mendebat
pernyataan dosen.
Alangkah bodoh jika dosen justru menghindari perdebatan dengan
mahasiswa, bukankah seharusnya dosen membimbing mahasiswa agar bisa berdebat
dan mempertahankan argumen secara logis? Seharusnya sih memang begitu, tapi
nyatanya saat ini malah banyak dosen tak berani memberi kesempatan mahasiswa
untuk berargumen secara logis, malah kalau mahasiswa berani mendebat
pernyataannya di kelas justru dikatakan tak punya moral. Amatlah bodoh jika
dosen bersikap semacam itu!
Menurut saya, perilaku dosen seperti itulah yang menyebabkan
mahasiswa di zaman tak banyak yang memiliki keberanian untuk mengkritisi suatu
keadaan. Coba bayangkan jika setiap mahasiswa yang tak sepakat dengan pendapat dosen
selalu dikatakan “tak bermoral”, apakah mereka akan berani lagi menyatakan
ketidaksepahamannya itu di kemudian hari? Saya rasa mereka akan berpikir dua
kali ketika ingin melakukan hal itu.
Saya pun heran, kenapa
dosen justru bangga bisa membodohi mahasiswanya sendiri. Sementara dosen itu
profesi yang mulia, tapi mereka malah memanfaatkan jabatan itu untuk mencari
keuntungan pribadi dengan cara busuk seperti itu—membodohi dan membajak
mahasiswa. Apakah menjadi dosen memang tujuan akhirnya mencari keuntungan
dengan cara bodoh begitu? Saya rasa tidak, sebab saya juga pernah bertemu
dengan dosen yang profesional; saya anggap dia profesional karena tak mencari
keuntungan dengan cara busuk dari profesinya sendiri.
Saya hormat pada
dosen yang meski mengeluh atas besarnya tanggung jawab yang diembannya di
kampus, tapi selalu bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dengan berbisnis di luar
kampusnya, tapi saya tak perlu hormat pada dosen yang mengeluh atas besarnya
tanggung jawab di kampus tapi memanfaatkan kegiatan-kegiatan mahasiswa untuk
menguntungkan kantong pribadi.
Dosen semacam mereka itu sebenarnya “sampah” yang musti dibakar, bukan malah dilindungi apalagi dipertahankan, karena mereka dapat merusak citra profesi. Tapi sayangnya, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memelihara dosen-dosen seperti mereka daripada dosen yang benar-benar menjaga kemuliaan profesinya sendiri.
Jika begitu, misalnya
ada kejadian mahasiswa berbuat di luar kewajaran pada dosen, seharusnya jangan
hanya mahasiswa yang selalu disalahkan, tapi perguruan tinggi itu juga mesti
mengevaluasi dosen-dosen yang ada di dalam perguruan tinggi itu sendiri.
Jujur, saya
bingung melihat fenomena yang terjadi di perguruan tinggi saat ini; ketika dosen
melakukan kesalahan justru dilindungi oleh rekan sejawat dan petinggi perguruan
tinggi, kadang mereka juga berusaha keras mencari cara agar mahasiswa bisa
dijadikan tumbal dalam masalah itu. Tetapi, ketika mahasiswa melakukan hal di
luar batas kewajaran, para dosen itupun boleh seenaknya mencaci perbuatan yang
dilakukan mahasiswa tanpa introspeksi terlebih dahulu.
Sebenarnya apa fungsi
dosen di perguruan tinggi sekarang? Apakah fungsi dosen hanya untuk melahirkan manusia-manusia
tak berkualitas, yang hanya tahu mencari keuntungan dengan cara menginjak
kepala orang lain? Atau, dosen hanya bertujuan untuk melahirkan
generasi-generasi yang tak mampu memecahkan persolan, lalu menggunakan “moral” sebagai
senjata agar oranglain tak melihat ketololan dalam dirinya?
Betapa miris
menyaksikan keadaan di perguruan tinggi saat ini, tapi entah kenapa tak banyak
orang yang mau jujur dan membahas masalah serius ini, khususnya mahasiswa. Apakah
mereka takut dikatakan tak bermoral oleh dosen (sampah) itu? Ketahuilah, bahwa dosen
bukan tuhan, jadi mereka boleh ditentang jika tak lagi lurus dalam berjalan.
Apabila kita selalu memaklumi ketidakwajaran yang terjadi, apalah artinya kita
sebagai manusia yang berakal dan berpikir di bumi ini?*
Sunaryo JW
0 komentar:
Post a Comment