Seputar Dunia Pendidikan

Wednesday, 24 October 2018

Mahasiswa Tak Boleh Nyaman Melihat Ketidakwajaran


“Jika sawah adalah ladang bagi petani, maka “mahasiswa” adalah ladang bagi para dosen.”

Mungkin seperti itulah realita yang terjadi hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia saat ini; banyak dosen memanfaatkan kekuasaannya untuk membajak para mahasiswa. Tapi bedanya dengan petani mungkin alat kerjanya saja, jika petani memakai cangkul, maka dosen alat kerjanya adalah “moral”.

Magnis-Suseno (dalam Budiningsih, 2008: 24) mengatakan moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Siapapun tentu akan terdiam bila disebut tak bermoral, sama halnya dengan mahasiswa. Mereka jelas lemah atau bahkan bersedih hati menerima predikat baru yang disematkan dosen kepadanya itu. Karena kita sama-sama tahu, bahwa menyinggung soal moral seseorang pasti akan berdampak buruk pada seseorang itu sendiri, apalagi mahasiswa dikatakan tak lagi bermoral hanya karena mendebat pernyataan dosen.

Alangkah bodoh jika dosen justru menghindari perdebatan dengan mahasiswa, bukankah seharusnya dosen membimbing mahasiswa agar bisa berdebat dan mempertahankan argumen secara logis? Seharusnya sih memang begitu, tapi nyatanya saat ini malah banyak dosen tak berani memberi kesempatan mahasiswa untuk berargumen secara logis, malah kalau mahasiswa berani mendebat pernyataannya di kelas justru dikatakan tak punya moral. Amatlah bodoh jika dosen bersikap semacam itu!

Menurut saya, perilaku dosen seperti itulah yang menyebabkan mahasiswa di zaman tak banyak yang memiliki keberanian untuk mengkritisi suatu keadaan. Coba bayangkan jika setiap mahasiswa yang tak sepakat dengan pendapat dosen selalu dikatakan “tak bermoral”, apakah mereka akan berani lagi menyatakan ketidaksepahamannya itu di kemudian hari? Saya rasa mereka akan berpikir dua kali ketika ingin melakukan hal itu.

Saya pun heran, kenapa dosen justru bangga bisa membodohi mahasiswanya sendiri. Sementara dosen itu profesi yang mulia, tapi mereka malah memanfaatkan jabatan itu untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara busuk seperti itu—membodohi dan membajak mahasiswa. Apakah menjadi dosen memang tujuan akhirnya mencari keuntungan dengan cara bodoh begitu? Saya rasa tidak, sebab saya juga pernah bertemu dengan dosen yang profesional; saya anggap dia profesional karena tak mencari keuntungan dengan cara busuk dari profesinya sendiri.

Saya hormat pada dosen yang meski mengeluh atas besarnya tanggung jawab yang diembannya di kampus, tapi selalu bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dengan berbisnis di luar kampusnya, tapi saya tak perlu hormat pada dosen yang mengeluh atas besarnya tanggung jawab di kampus tapi memanfaatkan kegiatan-kegiatan mahasiswa untuk menguntungkan kantong pribadi.

Dosen semacam mereka itu sebenarnya “sampah” yang musti dibakar, bukan malah dilindungi apalagi dipertahankan, karena mereka dapat merusak citra profesi. Tapi sayangnya, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memelihara dosen-dosen seperti mereka daripada dosen yang benar-benar menjaga kemuliaan profesinya sendiri.

Jika begitu, misalnya ada kejadian mahasiswa berbuat di luar kewajaran pada dosen, seharusnya jangan hanya mahasiswa yang selalu disalahkan, tapi perguruan tinggi itu juga mesti mengevaluasi dosen-dosen yang ada di dalam perguruan tinggi itu sendiri.

Jujur, saya bingung melihat fenomena yang terjadi di perguruan tinggi saat ini; ketika dosen melakukan kesalahan justru dilindungi oleh rekan sejawat dan petinggi perguruan tinggi, kadang mereka juga berusaha keras mencari cara agar mahasiswa bisa dijadikan tumbal dalam masalah itu. Tetapi, ketika mahasiswa melakukan hal di luar batas kewajaran, para dosen itupun boleh seenaknya mencaci perbuatan yang dilakukan mahasiswa tanpa introspeksi terlebih dahulu.

Sebenarnya apa fungsi dosen di perguruan tinggi sekarang? Apakah fungsi dosen hanya untuk melahirkan manusia-manusia tak berkualitas, yang hanya tahu mencari keuntungan dengan cara menginjak kepala orang lain? Atau, dosen hanya bertujuan untuk melahirkan generasi-generasi yang tak mampu memecahkan persolan, lalu menggunakan “moral” sebagai senjata agar oranglain tak melihat ketololan dalam dirinya?

Betapa miris menyaksikan keadaan di perguruan tinggi saat ini, tapi entah kenapa tak banyak orang yang mau jujur dan membahas masalah serius ini, khususnya mahasiswa. Apakah mereka takut dikatakan tak bermoral oleh dosen (sampah) itu? Ketahuilah, bahwa dosen bukan tuhan, jadi mereka boleh ditentang jika tak lagi lurus dalam berjalan. Apabila kita selalu memaklumi ketidakwajaran yang terjadi, apalah artinya kita sebagai manusia yang berakal dan berpikir di bumi ini?*


Sunaryo JW

0 komentar:

Post a Comment