Selamatkan Profesi
Mengancam
peserta didik saat mereka bersikap jujur (langsung ataupun melalui sebuah
tulisan), adalah salah satu perilaku “tolol” orang yang bekerja sebagai tenaga
pendidik. Tenaga pendidik yang suka melakukan hal semacam ini pantasnya
berhenti dari pekerjaan yang “dibangga-banggakannya” itu (guru atau dosen), karena
orang seperti mereka itulah yang merusak citra “profesi” tenaga pendidik—mereka
itu sebenarnya “tolol”, tapi sok berwajah “pendidik”, dan biasanya orang
semacam mereka itu hanya mengincar “jabatan” agar tampak “terhormat”.
Saya
teringat seorang perempuan bernama Amel—bagi saya, dia adalah perempuan hebat
dan, laik saya katakan sebagai “pahlawan”, meskipun bagi saya pribadi. Tapi
sayang, belum sempat saya bertemu dan berbincang dengannya, dia sudah lebih
dulu mangkat pada bulan April 2017 lalu, di salah satu Rumah Sakit Kota
Padangsidempuan. Semoga Allah meridhoi kembalinya saudara kita. Amin
Amel
mangkat meski sempat diwarat beberapa hari usai menenggak racun rumput yang
dibelinya di warung. Dia nekat menenggak racun rumput itu karena merasa tak
tahan menerima perlakuan intimidasi dari oknum guru yang tersinggung saat
“kejahatannya” ditunjukkan, lalu dia (guru) memanggilnya dan menyinggung soal
penjara, serta denda ratusan juta, alasannya: karena Amel berani mengungkap
perilaku “tercela” oknum guru saat ujian. Kematian Amel benar-benar telah
mencoreng wajah pendidikan di Kota Padangsidempuan.
Pertanyaan
saya, tidak adakah tempat bagi orang-orang “jujur” yang berani mengungkap kejahatan
para oknum perusak masa depan di Kota Padangsidempuan ini?! Kalau ada, mana
buktinya?! Kenapa Amel harus diperlakukan sebiadab itu sehingga dia nekat
mengakhiri hidupnya. Tidak adakah yang berpikir bahwa dia itu perempuan yang
akan “melahirkan” generasi “jujur” berikutnya, yang bisa memperbaiki Kota
Padangsidempuan ini?!
Tidak Hanya di
Sekolah
Belum
reda amarah melihat orang-orang “tolol” yang mengaku-ngaku sebagai “guru”, timbul
masalah baru yang semakin memancing amarah saya. Kisah ini dialami seorang
kawan saya berinisial SJ, yang juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa
oknum dosen di kampusnya, di Kota Padangsidempuan—dia (SJ) kuliah di salah satu
kampus swasta yang ada di Kota Padangsidempuan.
Kisah
itu terjadi pada bulan November 2017 lalu—hanya selang beberapa bulan saja
dengan kejadian Amel. Saat itu, kata SJ, dia terlanjur kalap melihat perilaku
orang-orang yang memiliki jabatan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
kampus malah diam dan ikut-ikutan mendukung perilaku “tolol” beberapa oknum
“dosen” yang memanfaatkan kegiatan mahasiswa untuk mencari keuntungan tanpa
memikirkan nasib “mahasiswa baru” yang menjadi korban. Dia pun memutuskan untuk
mengungkapkannya melalui tulisan singkat di akun facebook; intinya menyinggung
soal perbuatan dosen-dosen dan BEM yang bekerjasama melakukan pembajakan terhadap
mahasiswa baru.
Kronologinya
sama dengan Amel—dipanggil ke kantor dan ditakut-takuti oleh dosen Bidang
Kemahasiswaan, bahkan lebih kasar kata-kata yang harus diterima kawan saya ini:
selain ditakut-takuti dengan UU ITE, dia juga dikatakan “tak punya etika”,
begitulah saya ingat, saat dia menceritakan kisahnya waktu itu.
Memang
terdengar sangat aneh, tapi, ya, begitulah realitanya: orang-orang yang
seharusnya membimbing peserta didik untuk belajar menenun kejujuran, malah
melakukan perbuatan yang justru dapat membunuh kemerdekaan peserta didik dalam
menenun kejujuran itu sendiri.
Celakanya,
dalam hal ini, mereka justru tak mau disalahkan! Mereka malah saling menutupi,
dan melakukan “pembusukan” atau “membunuh karakter” peserta didik di hadapan
peserta didik lain, hal ini mereka lakukan supaya tetap terlihat “intelektual”
dan “suci” dari perbuatan “tercela”. Itulah sebabnya, kejadian yang dialami
Amel, ataupun kawan saya itu, selalu menjadi tradisi di sini—karena mereka (yang
mengaku pendidik) malah saling membenarkan perbuatan “tolol” itu dan menjadikan
peserta didik sebagai “tumbal”.
Entah
kenapa, saya lebih sering bertemu dengan orang-orang “tolol” yang bersembunyi
dalam pakaian pendidik daripada pendidik yang sebenarnya. Bisa dihitung dengan
jari orang yang benar-benar pendidik di kota ini, dan, kesedihan pun selalu
menyelimuti orang yang benar-benar pendidik itu. Pasalnya, pendidik yang
benar-benar pendidik ini lebih sering tenggelam akibat sistem “buruk” yang
diterapkan kebanyakan sekolah/kampus di kota ini, atau, bahkan sistem yang
diterapkan kota ini sendiri.
Lantas,
bagaimana dengan klaim orang-orang selama ini—Kota Padangsidempuan adalah kota
pendidikan, bila sekolah dan kampus malah membunuh kemerdekaan peserta didik
dalam menenun kejujuran?! Masih pantaskah kita sematkan sebutan ini?!
Saatnya Tegas
Apabila
sekolah atau kampus yang ada di Kota Padangsidempuan berani tegas menindak
orang-orang “tolol” berseragam “guru dan dosen”, saya yakin, tak akan “buruk”
citra “profesi guru dan dosen”, di kota ini khususnya. Perlu kiranya kita
sadari, buruknya citra pendidik di kota ini sebenarnya disebabkan oleh sekolah
dan kampus yang lebih memilih memelihara “penipu” seperti mereka.
Akibatnya,
pendidik yang benar-benar pendidik tidak bisa membela profesi saat orang
menilai tentang buruknya citra profesi mereka sebagai pendidik, khususnya di
Kota Padangsidempuan. Malah, ada hal yang saya takutkan, mereka yang awalnya
ingin menyelamatkan profesi pendidik juga ikut-ikutan tak perduli, karena
lingkungan tempatnya bekerja lebih didominasi oleh penipu berseragam pendidik.
Bisa
saja itu terjadi, karena kejahatan selalu disebabkan oleh kesempatan yang
didukung oleh lingkungan. Seperti digambarkan Budi Hatees perihal kejahatan
dalam bukunya, Ulat di Kebun Polri (2013).
Kejahatan atau malpraktek dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak
selalu disebabkan oleh watak individu, melainkan besar kemungkinan dipengaruhi
oleh lingkungan kerjanya.
Sangat berbahaya bila orang-orang seperti mereka masih dibiarkan ada dalam sekolah maupun kampus. Karena, bukan mustahil mereka akan semakin merusak tatanan profesi pendidik yang mulia itu. Masalah ini benar-benar harus dipikirkan, terutama oleh sekolah dan kampus yang ada di Kota Padangsidempuan—sekolah dan kampus harus lebih selektif.
Karena
itu, tidak bisa ditawar lagi, profesi pendidik harus diselamatkan. Caranya, sekolah
dan kampus harus membuang sampah-sampah yang menyebabkan citra profesi pendidik
itu menjadi buruk.*
Sunaryo JW
Semoga mereka yg bersembunyi di balik seragam suci mendapat hidayah demi menenun generasi "soekarno"
ReplyDeleteAmin. Semoga, Bung.
DeleteTengkyu atas kunjungannya, Bung.
Salam kreatif!
Mantap dek. Perbanyak refetensi yah untuk meningkatkan kualitas literasinya.
ReplyDeleteSiip, Bang!
DeleteTengkyu sudah berkunjung, Bang.
Salam kreatif!