Seputar Dunia Pendidikan

Sunday, 21 October 2018

Selamatkan Profesi


Mengancam peserta didik saat mereka bersikap jujur (langsung ataupun melalui sebuah tulisan), adalah salah satu perilaku “tolol” orang yang bekerja sebagai tenaga pendidik. Tenaga pendidik yang suka melakukan hal semacam ini pantasnya berhenti dari pekerjaan yang “dibangga-banggakannya” itu (guru atau dosen), karena orang seperti mereka itulah yang merusak citra “profesi” tenaga pendidik—mereka itu sebenarnya “tolol”, tapi sok berwajah “pendidik”, dan biasanya orang semacam mereka itu hanya mengincar “jabatan” agar tampak “terhormat”.

Saya teringat seorang perempuan bernama Amel—bagi saya, dia adalah perempuan hebat dan, laik saya katakan sebagai “pahlawan”, meskipun bagi saya pribadi. Tapi sayang, belum sempat saya bertemu dan berbincang dengannya, dia sudah lebih dulu mangkat pada bulan April 2017 lalu, di salah satu Rumah Sakit Kota Padangsidempuan. Semoga Allah meridhoi kembalinya saudara kita. Amin

Amel mangkat meski sempat diwarat beberapa hari usai menenggak racun rumput yang dibelinya di warung. Dia nekat menenggak racun rumput itu karena merasa tak tahan menerima perlakuan intimidasi dari oknum guru yang tersinggung saat “kejahatannya” ditunjukkan, lalu dia (guru) memanggilnya dan menyinggung soal penjara, serta denda ratusan juta, alasannya: karena Amel berani mengungkap perilaku “tercela” oknum guru saat ujian. Kematian Amel benar-benar telah mencoreng wajah pendidikan di Kota Padangsidempuan.

Pertanyaan saya, tidak adakah tempat bagi orang-orang “jujur” yang berani mengungkap kejahatan para oknum perusak masa depan di Kota Padangsidempuan ini?! Kalau ada, mana buktinya?! Kenapa Amel harus diperlakukan sebiadab itu sehingga dia nekat mengakhiri hidupnya. Tidak adakah yang berpikir bahwa dia itu perempuan yang akan “melahirkan” generasi “jujur” berikutnya, yang bisa memperbaiki Kota Padangsidempuan ini?!

Tidak Hanya di Sekolah

Belum reda amarah melihat orang-orang “tolol” yang mengaku-ngaku sebagai “guru”, timbul masalah baru yang semakin memancing amarah saya. Kisah ini dialami seorang kawan saya berinisial SJ, yang juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa oknum dosen di kampusnya, di Kota Padangsidempuan—dia (SJ) kuliah di salah satu kampus swasta yang ada di Kota Padangsidempuan.

Kisah itu terjadi pada bulan November 2017 lalu—hanya selang beberapa bulan saja dengan kejadian Amel. Saat itu, kata SJ, dia terlanjur kalap melihat perilaku orang-orang yang memiliki jabatan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus malah diam dan ikut-ikutan mendukung perilaku “tolol” beberapa oknum “dosen” yang memanfaatkan kegiatan mahasiswa untuk mencari keuntungan tanpa memikirkan nasib “mahasiswa baru” yang menjadi korban. Dia pun memutuskan untuk mengungkapkannya melalui tulisan singkat di akun facebook; intinya menyinggung soal perbuatan dosen-dosen dan BEM yang bekerjasama melakukan pembajakan terhadap mahasiswa baru.

Kronologinya sama dengan Amel—dipanggil ke kantor dan ditakut-takuti oleh dosen Bidang Kemahasiswaan, bahkan lebih kasar kata-kata yang harus diterima kawan saya ini: selain ditakut-takuti dengan UU ITE, dia juga dikatakan “tak punya etika”, begitulah saya ingat, saat dia menceritakan kisahnya waktu itu.

Memang terdengar sangat aneh, tapi, ya, begitulah realitanya: orang-orang yang seharusnya membimbing peserta didik untuk belajar menenun kejujuran, malah melakukan perbuatan yang justru dapat membunuh kemerdekaan peserta didik dalam menenun kejujuran itu sendiri.

Celakanya, dalam hal ini, mereka justru tak mau disalahkan! Mereka malah saling menutupi, dan melakukan “pembusukan” atau “membunuh karakter” peserta didik di hadapan peserta didik lain, hal ini mereka lakukan supaya tetap terlihat “intelektual” dan “suci” dari perbuatan “tercela”. Itulah sebabnya, kejadian yang dialami Amel, ataupun kawan saya itu, selalu menjadi tradisi di sini—karena mereka (yang mengaku pendidik) malah saling membenarkan perbuatan “tolol” itu dan menjadikan peserta didik sebagai “tumbal”.

Entah kenapa, saya lebih sering bertemu dengan orang-orang “tolol” yang bersembunyi dalam pakaian pendidik daripada pendidik yang sebenarnya. Bisa dihitung dengan jari orang yang benar-benar pendidik di kota ini, dan, kesedihan pun selalu menyelimuti orang yang benar-benar pendidik itu. Pasalnya, pendidik yang benar-benar pendidik ini lebih sering tenggelam akibat sistem “buruk” yang diterapkan kebanyakan sekolah/kampus di kota ini, atau, bahkan sistem yang diterapkan kota ini sendiri.

Lantas, bagaimana dengan klaim orang-orang selama ini—Kota Padangsidempuan adalah kota pendidikan, bila sekolah dan kampus malah membunuh kemerdekaan peserta didik dalam menenun kejujuran?! Masih pantaskah kita sematkan sebutan ini?!

Saatnya Tegas

Apabila sekolah atau kampus yang ada di Kota Padangsidempuan berani tegas menindak orang-orang “tolol” berseragam “guru dan dosen”, saya yakin, tak akan “buruk” citra “profesi guru dan dosen”, di kota ini khususnya. Perlu kiranya kita sadari, buruknya citra pendidik di kota ini sebenarnya disebabkan oleh sekolah dan kampus yang lebih memilih memelihara “penipu” seperti mereka.

Akibatnya, pendidik yang benar-benar pendidik tidak bisa membela profesi saat orang menilai tentang buruknya citra profesi mereka sebagai pendidik, khususnya di Kota Padangsidempuan. Malah, ada hal yang saya takutkan, mereka yang awalnya ingin menyelamatkan profesi pendidik juga ikut-ikutan tak perduli, karena lingkungan tempatnya bekerja lebih didominasi oleh penipu berseragam pendidik.

Bisa saja itu terjadi, karena kejahatan selalu disebabkan oleh kesempatan yang didukung oleh lingkungan. Seperti digambarkan Budi Hatees perihal kejahatan dalam bukunya, Ulat di Kebun Polri (2013). Kejahatan atau malpraktek dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan oleh watak individu, melainkan besar kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya.

Sangat berbahaya bila orang-orang seperti mereka masih dibiarkan ada dalam sekolah maupun kampus. Karena, bukan mustahil mereka akan semakin merusak tatanan profesi pendidik yang mulia itu. Masalah ini benar-benar harus dipikirkan, terutama oleh sekolah dan kampus yang ada di Kota Padangsidempuan—sekolah dan kampus harus lebih selektif.

Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, profesi pendidik harus diselamatkan. Caranya, sekolah dan kampus harus membuang sampah-sampah yang menyebabkan citra profesi pendidik itu menjadi buruk.*


Sunaryo JW

4 comments:

  1. Semoga mereka yg bersembunyi di balik seragam suci mendapat hidayah demi menenun generasi "soekarno"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Semoga, Bung.

      Tengkyu atas kunjungannya, Bung.

      Salam kreatif!

      Delete
  2. Mantap dek. Perbanyak refetensi yah untuk meningkatkan kualitas literasinya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siip, Bang!

      Tengkyu sudah berkunjung, Bang.

      Salam kreatif!

      Delete