Merenovasi Alur Berpikir
Memang kurang nyaman
rasanya ketika mendengar orang-orang mengatakan mahasiswa di zaman ini tak lagi
punya etika kepada dosen, tanpa mengetahui apa yang dialami mahasiswa selama
menjalani proses pendidikan. Menurut saya, predikat (tak beretika) itu
samasekali tak berdasar, karena hanya bersumber dari pengelihatan sekilas.
Mestinya orang-orang juga
menyadari bahwa di kampus juga ada dosen yang gemar berperilaku “pseudo”, yang mestinya
kita sadari bersama adalah: apabila ada mahasiswa berani melakukan hal di luar
batas, belum tentu itu atas kemauan dirinya sendiri, bisa jadi hal itu mereka
lakukan karena tertekan atau karena melihat ketidakwajaran yang didiamkan dalam
kampusnya sendiri.
Tentu, tak hanya mahasiswa
sebenarnya, tapi semua orang pasti akan merasa tak nyaman jika terus dihadapkan
dengan keadaan tak wajar, dan bisa jadi di sinilah mulanya tumbuh sikap
menentang di hati seseorang yang mengalaminya (mahasiswa). Jadi, menurut saya,
predikat yang disematkan masyarakat pada mahasiswa di zaman ini sangat tak
masuk akal, seolah mereka hanya menghakimi satu pihak dan mendewakan pihak lain
(dosen).
Apalagi sekarang memang
banyak kampus di Indonesia yang justru nyaman menutupi masalah internal kampus,
mereka pun beranggapan kalau masalah internal adalah aib dan pantang diketahui
oleh masyarakat. Tapi, justru, ada yang tidak mereka pikirkan di sini, yaitu
nasib mahasiswa. Setiap orang mestinya cerdas dalam mengkaji masalah ini,
karena realita yang terjadi saat ini memang berdampak pada buruknya citra
mahasiswa di mata semua kalangan.
Efek
Fatal
Tidak semua mahasiswa mau
dididik kebohongan, apalagi mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi-diskusi
dengan komunitas atau para cendekia di luar jam kampus mereka. Tentu saja ada perbedaan
sikap mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi dengan mahasiswa yang hanya
mendewakan dosen—sekalipun dosen itu dalam posisi salah.
Biasanya, para
penentang ketidakwajaran itu mayoritas adalah mahasiswa yang aktif mengikuti
diskusi di luar kampus, tapi justru merekalah mahasiswa yang dicap tak punya
etika oleh masyarakat bahkan dosen mereka sendiri. Alangkah tak masuk akal jika
mahasiswa baru akan dianggap beretika bila selalu manut pada dosen, dan merasa
nyaman hidup dalam ketidakwajaran.
Lalu, apa artinya
mereka kuliah kalau hanya untuk dididik jadi intelektual munafik berijazah?!
Sementara mereka adalah calon-calon cendekia yang mesti turut bertanggungjawab
dalam memajukan bangsa dan negara, baik itu pada bidang pendidikan ataupun
bidang lain. Kenapa para calon cendekia itu justru tidak diajarkan bagaimana
cara menenun kejujuran?
Alangkah berbahayanya jika
mahasiswa justru dituntut mesti seragam, tak boleh berseberangan pendapat
dengan dosen, tak boleh menentang kebijakan kampus (sekalipun itu tidak wajar)
jika tak ingin dicap tak punya etika. Saya membayangkan misalnya pola ini masih
tetap dipakai dalam perguruan tinggi, maka besar kemungkinan populasi mahasiswa
berpaham fasis akan membludak setiap tahun dari seluruh kampus di Indonesia.
Mulai
Mengedepankan Kejujuran
Oleh sebab itu, para
dosen dan orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti
merenovasi alur berpikir, agar masyarakat tidak selalu ikut menghakimi para
mahasiswa di zaman ini. Karena hal di luar batas yang dilakukan oleh mahasiswa
tidak sepenuhnya keinginan mereka sendiri, tentu mereka memiliki referensi, dan
referensi itu jelas adanya di lingkungan kampus mereka sendiri.
Mestinya dosen berhenti
mengajarkan ilmu kebohongan, mulailah bersikap serta mengajarkan ilmu kejujuran
pada mahasiswa, agar mereka tak sekadar jadi intelektual munafik berijazah
setelah menyelesaikan pendidikannya nanti; sebab tugas cendekiawan antara lain
adalah mengatakan raja telanjang, bila kenyataannya memang demikian, dan bukan
memolesnya dengan kiasan palsu. (Albert Camus, 1988: 45).
Tapi, mungkin,
mayoritas mahasiswa saat ini lebih banyak yang takut untuk bersikap jujur
daripada takut kepada tuhan. Karena, ketika ingin bersikap jujur mereka pun
menganggap intimidasi dosen lebih tinggi derajatnya daripada tuhan, sehingga
banyak mahasiswa yang takut berkata “jujur”, atau mengkritisi kebijakan yang
tidak wajar di lingkungan kampusnya sendiri. Hal ini menurut saya disebabkan oleh
pola pendidikan yang diterima mereka dari para dosen, dan memang para dosen pun
kebanyakan paling takut melihat mahasiswa ketika mereka melakukan kejujuran.
Mestinya kampus
memelihara lebih banyak orang baik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan
baik pula. Tapi, entah kenapa saat ini kampus malah lebih banyak memelihara
orang-orang tak baik, yang hanya memikirkan untung bagi dirinya sendiri tanpa
peduli dampak buruk yang akan dialami mahasiswa di kemudian hari. Padahal, tak seorangpun,
hingga saat ini, meragukan bahwa orang "baik" mewakili sebuah nilai
yang lebih tinggi daripada yang "jahat", dalam batas-batas memelihara
dan memanfaatkan umat manusia secara garis besar, bahkan menganggapnya sebuah
pandangan lama. (Friedrich Nietzsche , 2001, 11).
Tentu dapat kita
bayangkan bagaimana jika lembaga pendidikan hanya dihuni oleh orang-orang yang
tak punya tujuan untuk melahirkan orang-orang berkualitas agar dapat
memperbaiki kebobrokan yang terjadi selama ini. Itulah sebab, orang-orang yang
bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti mulai merenovasi alur berpikir mereka,
karena dengan merenovasi alur berpikir maka mahasiswa akan otomatis ikut
mengubah alur berpikir mereka juga.||sunaryo jw
||
Sumber:
http://harian.analisadaily.com/opini/news/merenovasi-alur-berpikir/678271/2019/01/15
0 komentar:
Post a Comment