Seputar Dunia Pendidikan

Thursday, 17 January 2019

Merenovasi Alur Berpikir


Memang kurang nyaman rasanya ketika mendengar orang-orang mengatakan mahasiswa di zaman ini tak lagi punya etika kepada dosen, tanpa mengetahui apa yang dialami mahasiswa selama menjalani proses pendidikan. Menurut saya, predikat (tak beretika) itu samasekali tak berdasar, karena hanya bersumber dari pengelihatan sekilas.

Mestinya orang-orang juga menyadari bahwa di kampus juga ada dosen yang gemar berperilaku “pseudo”, yang mestinya kita sadari bersama adalah: apabila ada mahasiswa berani melakukan hal di luar batas, belum tentu itu atas kemauan dirinya sendiri, bisa jadi hal itu mereka lakukan karena tertekan atau karena melihat ketidakwajaran yang didiamkan dalam kampusnya sendiri.

Tentu, tak hanya mahasiswa sebenarnya, tapi semua orang pasti akan merasa tak nyaman jika terus dihadapkan dengan keadaan tak wajar, dan bisa jadi di sinilah mulanya tumbuh sikap menentang di hati seseorang yang mengalaminya (mahasiswa). Jadi, menurut saya, predikat yang disematkan masyarakat pada mahasiswa di zaman ini sangat tak masuk akal, seolah mereka hanya menghakimi satu pihak dan mendewakan pihak lain (dosen).

Apalagi sekarang memang banyak kampus di Indonesia yang justru nyaman menutupi masalah internal kampus, mereka pun beranggapan kalau masalah internal adalah aib dan pantang diketahui oleh masyarakat. Tapi, justru, ada yang tidak mereka pikirkan di sini, yaitu nasib mahasiswa. Setiap orang mestinya cerdas dalam mengkaji masalah ini, karena realita yang terjadi saat ini memang berdampak pada buruknya citra mahasiswa di mata semua kalangan.

Efek Fatal

Tidak semua mahasiswa mau dididik kebohongan, apalagi mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi-diskusi dengan komunitas atau para cendekia di luar jam kampus mereka. Tentu saja ada perbedaan sikap mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi dengan mahasiswa yang hanya mendewakan dosen—sekalipun dosen itu dalam posisi salah.

Biasanya, para penentang ketidakwajaran itu mayoritas adalah mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi di luar kampus, tapi justru merekalah mahasiswa yang dicap tak punya etika oleh masyarakat bahkan dosen mereka sendiri. Alangkah tak masuk akal jika mahasiswa baru akan dianggap beretika bila selalu manut pada dosen, dan merasa nyaman hidup dalam ketidakwajaran.

Lalu, apa artinya mereka kuliah kalau hanya untuk dididik jadi intelektual munafik berijazah?! Sementara mereka adalah calon-calon cendekia yang mesti turut bertanggungjawab dalam memajukan bangsa dan negara, baik itu pada bidang pendidikan ataupun bidang lain. Kenapa para calon cendekia itu justru tidak diajarkan bagaimana cara menenun kejujuran?

Alangkah berbahayanya jika mahasiswa justru dituntut mesti seragam, tak boleh berseberangan pendapat dengan dosen, tak boleh menentang kebijakan kampus (sekalipun itu tidak wajar) jika tak ingin dicap tak punya etika. Saya membayangkan misalnya pola ini masih tetap dipakai dalam perguruan tinggi, maka besar kemungkinan populasi mahasiswa berpaham fasis akan membludak setiap tahun dari seluruh kampus di Indonesia.

Mulai Mengedepankan Kejujuran

Oleh sebab itu, para dosen dan orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti merenovasi alur berpikir, agar masyarakat tidak selalu ikut menghakimi para mahasiswa di zaman ini. Karena hal di luar batas yang dilakukan oleh mahasiswa tidak sepenuhnya keinginan mereka sendiri, tentu mereka memiliki referensi, dan referensi itu jelas adanya di lingkungan kampus mereka sendiri.

Mestinya dosen berhenti mengajarkan ilmu kebohongan, mulailah bersikap serta mengajarkan ilmu kejujuran pada mahasiswa, agar mereka tak sekadar jadi intelektual munafik berijazah setelah menyelesaikan pendidikannya nanti; sebab tugas cendekiawan antara lain adalah mengatakan raja telanjang, bila kenyataannya memang demikian, dan bukan memolesnya dengan kiasan palsu. (Albert Camus, 1988: 45).

Tapi, mungkin, mayoritas mahasiswa saat ini lebih banyak yang takut untuk bersikap jujur daripada takut kepada tuhan. Karena, ketika ingin bersikap jujur mereka pun menganggap intimidasi dosen lebih tinggi derajatnya daripada tuhan, sehingga banyak mahasiswa yang takut berkata “jujur”, atau mengkritisi kebijakan yang tidak wajar di lingkungan kampusnya sendiri. Hal ini menurut saya disebabkan oleh pola pendidikan yang diterima mereka dari para dosen, dan memang para dosen pun kebanyakan paling takut melihat mahasiswa ketika mereka melakukan kejujuran.

Mestinya kampus memelihara lebih banyak orang baik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik pula. Tapi, entah kenapa saat ini kampus malah lebih banyak memelihara orang-orang tak baik, yang hanya memikirkan untung bagi dirinya sendiri tanpa peduli dampak buruk yang akan dialami mahasiswa di kemudian hari. Padahal, tak seorangpun, hingga saat ini, meragukan bahwa orang "baik" mewakili sebuah nilai yang lebih tinggi daripada yang "jahat", dalam batas-batas memelihara dan memanfaatkan umat manusia secara garis besar, bahkan menganggapnya sebuah pandangan lama. (Friedrich Nietzsche , 2001, 11).


Tentu dapat kita bayangkan bagaimana jika lembaga pendidikan hanya dihuni oleh orang-orang yang tak punya tujuan untuk melahirkan orang-orang berkualitas agar dapat memperbaiki kebobrokan yang terjadi selama ini. Itulah sebab, orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti mulai merenovasi alur berpikir mereka, karena dengan merenovasi alur berpikir maka mahasiswa akan otomatis ikut mengubah alur berpikir mereka juga.||sunaryo jw

||

Sumber:
http://harian.analisadaily.com/opini/news/merenovasi-alur-berpikir/678271/2019/01/15

0 komentar:

Post a Comment