Saturday, 2 May 2020
Wednesday, 1 May 2019
Puisi-Puisi Sunaryo JW - Haluan Padang
May 01, 2019 sunaryojw
TAMSIL PIYAU
; bagi Dim
Kau
serupa piyau di kali Subayang
sedang
aku penumpang yang telat datang
juru
mudimu tentu keberatan
jika
aku ingin mengemudikan dikau
kerna
memang setiap piyau punya
kapasitas
penumpang masing-masing.
‘Cukup
satu juru mudi bagiku’ katamu.
‘Tapi
aku ingin meminangmu, Sayang’ kataku.
‘Tidak,
pergilah mencari piyau lain!’ katamu
sambil
kau jelaskan padaku, kalau tak lama lagi
juru
mudi itu akan membawamu menyusuri kali Subayang.
Astaga!
Kini,
akupun berjalan ke tepi kali
menghanyutkan
kembang yang terlanjur
mekar
di hatiku ini
Selamat
jalan.
------------------
Medan
– 2019
------------------
KEPADA DIM
Diam
diam kubaca kembali
buku
catatan bulan april tahun lalu
aku
sedang mencari sebuah rahasia
yang
sempat kuberitahukan padamu
meski
(mungkin) kini rahasia pada buku catatanku
berbeda
dengan rahasia pada buku catatan milikmu
“Aku
telah mulai perjalanan ini!
meski
belum kutahu dimana akan berhenti” kataku
Aku
sendiri, sebab di jalan ini
tak
ada tanda yang bisa kubaca
tapi
aku ingin menujumu
yang
mungkin rumah atau sekadar entah
aku
belum bisa menerjemahkannya.
“Hei!
berhentilah
menulis tentang saya!
saya
telah membangun rumah lain di sini” katamu
“Diamlah!
jangan
mengganggu saya bersamadi
kau
tak perlu khawatir, sebab saya tahu
kapan
mesti meletakkan tanda titik
pada
buku catatan ini!” jawabku.
------------------
Medan
– 2019
------------------
DI KEBUN KOPI
TYYANA
Tak
ada orang bicara politik di sini
tak
akan ada, tak mungkin juga ada
bahkan
kami tak ingin menduga-duga
siapa
menang, siapa kalah dalam pilkada
sebab
kami lebih percaya
bahasa
petani daripada politisi.
Saya
kira lebih berfaedah menikmati aroma sedap
biji
kopi yang digoreng secara tradisional daripada
duduk
& mendengar sabda basi para politisi.
‘Apatis
betul kau dengan politisi!’ ketus seorang kawanku
‘Oh,
sebenarnya tidak, kawan!
hanya
saja, akhir-akhir ini memang saya
tak
ingin terlalu banyak mendengar teori.”
Sudahlah,
sebaiknya kita cukup menikmati kopi saja
tak
perlu bicara soal politisi di istana seorang petani.
---------------------------------
Padangsidempuan
– 2018
---------------------------------
MEMBUNUH MAMAK
YANG LAIN
(a)
Di
kota tanpa introspeksi itu
aku
mendengar anak-anak berkata:
‘Heroin
tak lain mamak yang melahirkan
segala
kedamaian; tak ada yang boleh melarang
kami
hidup dan menetek pada mamak!’
begitulah
setiap hari, aku melihat anak-anak itu
mengisap
puting mamak tanpa jeda; di trotoar,
di
parkiran bahkan di kantin sekolahan
mengisap
puting mamak seakan ibadah yang wajib dijalankan.
(b)
Lalu
kubayangkan jika setiap anak yang lahir dari rahim
semua
mamak memiliki mamak yang lain di luar rumah mereka
mungkin
rumah hanya akan jadi sekadar halte
atau
mungkin sebuah ruang tunggu di bandara
dan
anak-anak itu akan terus bersabda:
‘Tak
pernah ada mamak sehebat heroin di dunia ini
heroin
bisa mengajak anak-anaknya keliling angkasa
melihat
dunia dengan cara lainnya.’
(c)
Tapi
di sini, di kota tanpa introspeksi
kita
mesti menolak jadi semacam negasi
kerna
anak-anak tak lain daun jati
yang
gugur tepat di arus kali;
mereka
masih bisa diselamatkan!
Sekarang,
kita mesti mengetuk pintu-pintu lain dalam dirinya
sebelum
mamak yang lain mendekap lebih erat tubuh mereka;
Ya!
Anak-anak
mesti dibangunkan
Anak-anak
mesti diingatkan
bahwa
yang tersekap di balik pintu lain
adalah
mamak kandung mereka sendiri.
--------------------------------
Padangsidempuan
– 2018
--------------------------------
Dimuat Haluan Padang, 26 April 2019
Sunday, 27 January 2019
Rusaknya Pola Pikir Orang-Orang Berpendidikan
January 27, 2019 sunaryojw
![]() |
gambar : google |
“Kejahatan yang
sebenarnya adalah melarang mahasiswa mengkritisi ketidakwajaran yang terjadi
dalam kampusnya sendiri”.
Menghalangi
mahasiswa melakukan hal yang seharusnya dilakukan (mengkritisi ketidakwajaran)
menurut saya penyimpangan paling fatal yang dilakukan kalangan dosen. Apa
sebenarnya yang mereka takutkan dari kritik?!
Tak
ada yang berkurang sebenarnya setelah mendapat kritikan, malah seharusnya dari
kritik tersebut mereka bisa mengubah hal-hal yang memang tak pantas dilakukan
oleh seorang tenaga pendidik. Tapi nyatanya masih banyak dosen tidak terima
ketika dikritik kesalahannya, lucunya lagi kadang ada dosen justru mengintimidasi
mahasiswa yang mengkritik tersebut.
Di
zaman kuliah dulu, saya sering menyaksikan adik-adik mahasiswa diberi nilai
buruk, bahkan sampai dibenci dosen-dosen ketika ikut mengkritisi kebijakan
kampus. Saya juga mengalami, tapi sudah kebal diperlakukan seperti itu. Dan
satu hal yang ingin saya sampaikan, sebenarnya disaat itu saya merasa bersalah
pada adik-adik mahasiswa karena mengajak mereka melawan ketidakwajaran yang
terjadi di rumah kami sendiri.
Alangkah
lucunya dunia pendidikan tinggi saat ini, hal yang salah malah matimatian
dibela dan dilindungi, sementara hal yang seharusnya dilakukan malah dimatikan
dengan dalih menjaga nama baik perguruan tinggi.
Menanam Benih
Dendam
Saya
kira ada hal yang luput dari ingatan banyak dosen, yakni benih dendam. Ya, benih
dendam amat berbahaya jika ditanam dan disiram hingga subur di hati para
mahasiswa, apalagi sampai bertahun-tahun lamanya.
Dendam jelas perasaan tidak terima
karena orang merasa diperlakukan tidak adil. Dendam menjadi dasar untuk
melakukan tindakan balasan, yakni kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama,
kekerasan akan terus melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu
diputus. (Wattimena, 2016: 20)
Saya
khawatir misalnya benih dendam itu ditanam di hati mahasiswa pendidikan guru,
ia nanti akan menjadi guru yang membalas perlakuan dosen di masa lalu pada
peserta didiknya. Atau, menanam benih dendam di hati mahasiswa yang berbakat
menjadi poitisi, ia nanti akan menjadi politisi dan menghalkan perilaku tidak
wajar yang ia dapatkan semasa kuliah.
Entah
jadi apa Indonesia ke depan jika dunia pendidikan terus melahirkan
manusia-manusia cacat pola pikir seperti itu.
Tapi
mungkin selama ini hanya mahasiswa yang dijadikan sasaran utama atas kemunduran
dunia pendidikan Indonesia. Misalnya ada mahasiswa melakukan hal di luar batas,
pasti orang-orang ramai menghakimi mahasiswa, tapi kenapa pada dosen tidak?
Padahal
tak semua dosen di kampus-kampus punya nalar lurus, mereka juga banyak yang
terjerumus dalam perbuatan yang seolaholah benar, padahal salah besar—misalnya
mengolah mahasiswa, mengintimidasi mahasiswa, bahkan ada yang sempat melecehkan
mahasiswa. Tapi kenapa jarang ada pembahasan lebih lanjut misalnya ada dosen
melakukan kesalahan?!
Saya
ceritakan hal kecil yang saya alami ketika zaman kuliah dulu, sudah jelas ada dosen
melakukan pembajakan mahasiswa baru tapi masih dilindungi oleh petinggi kampus,
dan pihak kampus bersama dosen tersebut malah menjadikan mahasiswa sebagai
tumbalnya.
Atau seperti kasus dosen yang melempar
mahasiswi dengan draf disertasinya sendiri di Riau, hingga mahasiswi tersebut melaporkan
masalah yang terjadi ke pihak berwajib. Ada memang pembahasan, tapi hanya
sebentar dan tak membuat dosen memiliki predikat buruk, atau tak bermoral, beda
hal dengan mahasiswa ketika mengkritisi suatu ketidakwajaran.
Mahasiswa ketika mengkritik suatu
ketidakwajaran akan langsung dicap tak bermoral, tak bertika oleh kalangan
dosen, termasuk juga cap dari masyarakat luar. Contohnya, ketika mahasiswa
melakukan demonstrasi akan langsung dicap “pasukan nasi bungkus”, daripada demo
mending belajar yang benar, mahasiswa zaman sekarang moralnya buruk dan banyak
lagi penilaian-penilaian miring lainnya. Saya heran melihat keadaan ini, kenapa
mereka gampang menilai apa yang mereka sendiri tidak tahu.
Apa mereka tahu masalah apa yang terjadi
di lembaga pendidikan, yang membuat mahasiswa melakukan hal di luar kendali?
Apa mereka tahu kelakuan dosen pada mahasiswa hingga mahasiswa melakukan
perlawanan? Apa mereka tahu kalau di lembaga pendidikan ada dosen berotak berantakan?
Apa mereka tahu nasib dosen-dosen profesional akibat perilaku dosen tak professional
itu?
Mereka tahu pertanyaan-pertanyaan yang
saya ajukan adalah hal sepele, atau sangat umum dan semua orang tahu, tapi yang
saya sayangkan adalah kenapa mereka tak juga mengubah pola pikir ketika
mengkaji masalah yang terjadi saat ini. Menurut saya, perilaku semacam itu
menandakan bahwa saat ini banyak pola pikir orang-orang berpendidikan mengalami
gangguan.
Jadi, misalnya ada seorang dosen
matimatian menghalangi mahasiswa bersikap kritis terhadap sesuatu yang tidak
wajar, perlu Anda tanya apakah saat dosen tersebut melamar pekerjaan di kampus
Anda dulu dalam keadaan waras atau sedang mengalami gangguan jiwa.
Jadi Dosen Untuk
Apa?!
Banyak
orang berambisi kuliah S2 biar bisa jadi dosen, untuk apa?! Biar bisa pamer ke
kawan-kawan karena jadi dosen, biar merasa jadi dewa dan selalu ingin dihormati
mahasiswa, atau memang benarbenar ingin memperbaiki pola pikir generasi muda
dan memajukan dunia pendidikan Indonesia?
Atau
malah ada yang termotivasi jadi dosen agar bisa membalas perlakuan dosen selama
kuliah dulu sambil bersabda: “Ini mendidik mental kalian, seperti kami dididik
dosen dulu waktu kuliah!”
Itu
sabda sampah yang sering saya dengar dari kalangan dosen ketika ada mahasiswa
mengeluh atas perlakuan dosen pada dirinya. Banyak dosen bersabda seperti itu
agar terhindar dari kritik, atau untuk sekadar mencari muka pada petinggi
perguruan tinggi agar terlihat bahwa ia adalah seorang dosen profesional.
Di
Indonesia ini banyak sekali dosen yang gemar melakukan pseudo agar terlihat
seolaholah intelek, bermoral, beretika, dan profesional. Padahal pseudo
berbahaya jika dilakukan kalangan dosen, karena bisa menyebabkan kerusakan pada
pola pikir generasi muda ke depannya.
Saya khawatir mereka akan menganggap
benar segala hal yang dilakukan para dosen meskipun perbuatan itu salah dan
merugikan banyak pihak. Mari
berpikir!* || sunaryo jw
Thursday, 17 January 2019
Merenovasi Alur Berpikir
January 17, 2019 sunaryojw
Memang kurang nyaman
rasanya ketika mendengar orang-orang mengatakan mahasiswa di zaman ini tak lagi
punya etika kepada dosen, tanpa mengetahui apa yang dialami mahasiswa selama
menjalani proses pendidikan. Menurut saya, predikat (tak beretika) itu
samasekali tak berdasar, karena hanya bersumber dari pengelihatan sekilas.
Mestinya orang-orang juga
menyadari bahwa di kampus juga ada dosen yang gemar berperilaku “pseudo”, yang mestinya
kita sadari bersama adalah: apabila ada mahasiswa berani melakukan hal di luar
batas, belum tentu itu atas kemauan dirinya sendiri, bisa jadi hal itu mereka
lakukan karena tertekan atau karena melihat ketidakwajaran yang didiamkan dalam
kampusnya sendiri.
Tentu, tak hanya mahasiswa
sebenarnya, tapi semua orang pasti akan merasa tak nyaman jika terus dihadapkan
dengan keadaan tak wajar, dan bisa jadi di sinilah mulanya tumbuh sikap
menentang di hati seseorang yang mengalaminya (mahasiswa). Jadi, menurut saya,
predikat yang disematkan masyarakat pada mahasiswa di zaman ini sangat tak
masuk akal, seolah mereka hanya menghakimi satu pihak dan mendewakan pihak lain
(dosen).
Apalagi sekarang memang
banyak kampus di Indonesia yang justru nyaman menutupi masalah internal kampus,
mereka pun beranggapan kalau masalah internal adalah aib dan pantang diketahui
oleh masyarakat. Tapi, justru, ada yang tidak mereka pikirkan di sini, yaitu
nasib mahasiswa. Setiap orang mestinya cerdas dalam mengkaji masalah ini,
karena realita yang terjadi saat ini memang berdampak pada buruknya citra
mahasiswa di mata semua kalangan.
Efek
Fatal
Tidak semua mahasiswa mau
dididik kebohongan, apalagi mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi-diskusi
dengan komunitas atau para cendekia di luar jam kampus mereka. Tentu saja ada perbedaan
sikap mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi dengan mahasiswa yang hanya
mendewakan dosen—sekalipun dosen itu dalam posisi salah.
Biasanya, para
penentang ketidakwajaran itu mayoritas adalah mahasiswa yang aktif mengikuti
diskusi di luar kampus, tapi justru merekalah mahasiswa yang dicap tak punya
etika oleh masyarakat bahkan dosen mereka sendiri. Alangkah tak masuk akal jika
mahasiswa baru akan dianggap beretika bila selalu manut pada dosen, dan merasa
nyaman hidup dalam ketidakwajaran.
Lalu, apa artinya
mereka kuliah kalau hanya untuk dididik jadi intelektual munafik berijazah?!
Sementara mereka adalah calon-calon cendekia yang mesti turut bertanggungjawab
dalam memajukan bangsa dan negara, baik itu pada bidang pendidikan ataupun
bidang lain. Kenapa para calon cendekia itu justru tidak diajarkan bagaimana
cara menenun kejujuran?
Alangkah berbahayanya jika
mahasiswa justru dituntut mesti seragam, tak boleh berseberangan pendapat
dengan dosen, tak boleh menentang kebijakan kampus (sekalipun itu tidak wajar)
jika tak ingin dicap tak punya etika. Saya membayangkan misalnya pola ini masih
tetap dipakai dalam perguruan tinggi, maka besar kemungkinan populasi mahasiswa
berpaham fasis akan membludak setiap tahun dari seluruh kampus di Indonesia.
Mulai
Mengedepankan Kejujuran
Oleh sebab itu, para
dosen dan orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti
merenovasi alur berpikir, agar masyarakat tidak selalu ikut menghakimi para
mahasiswa di zaman ini. Karena hal di luar batas yang dilakukan oleh mahasiswa
tidak sepenuhnya keinginan mereka sendiri, tentu mereka memiliki referensi, dan
referensi itu jelas adanya di lingkungan kampus mereka sendiri.
Mestinya dosen berhenti
mengajarkan ilmu kebohongan, mulailah bersikap serta mengajarkan ilmu kejujuran
pada mahasiswa, agar mereka tak sekadar jadi intelektual munafik berijazah
setelah menyelesaikan pendidikannya nanti; sebab tugas cendekiawan antara lain
adalah mengatakan raja telanjang, bila kenyataannya memang demikian, dan bukan
memolesnya dengan kiasan palsu. (Albert Camus, 1988: 45).
Tapi, mungkin,
mayoritas mahasiswa saat ini lebih banyak yang takut untuk bersikap jujur
daripada takut kepada tuhan. Karena, ketika ingin bersikap jujur mereka pun
menganggap intimidasi dosen lebih tinggi derajatnya daripada tuhan, sehingga
banyak mahasiswa yang takut berkata “jujur”, atau mengkritisi kebijakan yang
tidak wajar di lingkungan kampusnya sendiri. Hal ini menurut saya disebabkan oleh
pola pendidikan yang diterima mereka dari para dosen, dan memang para dosen pun
kebanyakan paling takut melihat mahasiswa ketika mereka melakukan kejujuran.
Mestinya kampus
memelihara lebih banyak orang baik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan
baik pula. Tapi, entah kenapa saat ini kampus malah lebih banyak memelihara
orang-orang tak baik, yang hanya memikirkan untung bagi dirinya sendiri tanpa
peduli dampak buruk yang akan dialami mahasiswa di kemudian hari. Padahal, tak seorangpun,
hingga saat ini, meragukan bahwa orang "baik" mewakili sebuah nilai
yang lebih tinggi daripada yang "jahat", dalam batas-batas memelihara
dan memanfaatkan umat manusia secara garis besar, bahkan menganggapnya sebuah
pandangan lama. (Friedrich Nietzsche , 2001, 11).
Tentu dapat kita
bayangkan bagaimana jika lembaga pendidikan hanya dihuni oleh orang-orang yang
tak punya tujuan untuk melahirkan orang-orang berkualitas agar dapat
memperbaiki kebobrokan yang terjadi selama ini. Itulah sebab, orang-orang yang
bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti mulai merenovasi alur berpikir mereka,
karena dengan merenovasi alur berpikir maka mahasiswa akan otomatis ikut
mengubah alur berpikir mereka juga.||sunaryo jw
||
Sumber:
http://harian.analisadaily.com/opini/news/merenovasi-alur-berpikir/678271/2019/01/15
Sunday, 11 November 2018
Membaca Lembaga Pendidikan Indonesia
November 11, 2018 sunaryojw
“Banyak
orang mengorbankan segalanya demi kepalsuan”. (Albert Camus)
Saya setuju dengan pernyataan Albert Camus tersebut; banyak
orang rela mengorbankan segalanya demi kepalsuan, apalagi dalam dunia perguruan
tinggi. Percaya atau tidak, saat ini lebih banyak dosen perguruan tinggi yang berlebihan
ketika membela “kampus”; bahkan mereka rela jadi munafik demi nama baik bagi tempat
yang sebenarnya tak baik. Dosen-dosen semacam itupun akan mengatasnamakan “pendidikan”
apabila publik meminta pertanggungjawaban atas keadaan yang terjadi di perguruan
tinggi tempat mereka mencari kehidupan.
Seperti halnya pernyataan Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam,
ketika menyayangkan sikap Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung
UGM, mengenai kasus pemerkosaan yang dialami oleh mahasiswi UGM ketika menjalani
proses KKN. Pernyataan Dekan FT UGM tersebut dimuat media Tirto.id (Beda sikap BEM dan Dekan FT UGM soal
Perkosaan Mahasiswa), edisi 08 November 2018.
Dalam berita itu, saya melihat Dekan FT UGM seolah kecewa atas
berita yang diterbitkan Balairung Press; dia menyayangkan media internal itu
karena mem-blow up kasus pemerkosaan,
“seolah-olah ada pembiaran, padahal kan tidak” (kata dia). Tapi, saya justru
menganggap sikap Dekan FT UGM ini keterlaluan; terlalu nampak kalau dia tak mau
publik beranggapan jelek terhadap kampus itu!
Meski boleh mati-matian membela nama baik sebuah institusi; tapi
kalau dalam membela nama baik justru membuat kita tidak jujur, menurut saya
percuma jadi manusia dengan gelar tinggi; apalagi berani mengatasnamakan “pendidikan”
demi menutupi ketidakwajaran yang terjadi. Usul saya bagi dosen-dosen, kalau
tak sanggup lebih baik berhenti jadi dosen daripada jadi sampah dalam dunia
pendidikan Indonesia.
Melihat kejadian semacam ini, tiba-tiba saya terkenang kejadian yang
saya alami bulan November 2017 lalu; saat saya masih jadi mahasiswa di salah
satu perguruan tinggi di Kota Padangsidempuan. Saat itu, saya menentang sikap ketua
Badan Eksekutif Mahasiswa yang malah ikut mendukung pembajakan mahasiswa baru,
dan pihak kampus pun melakukan hal serupa dengan Dekan FT UGM ini; menyayangkan
sikap saya yang membongkar ketidakwajaran.
Saya pun heran melihat dunia pendidikan saat ini, kenapa ketika
kita bersikap jujur justru diintimidasi, tapi bila kita berbakat jadi penipu
malah dilindungi dan bahkan ada yang sampai diberi beasiswa oleh perguruan
tinggi. Kenapa banyak perguruan tinggi cuma memikirkan cara menjaga nama baik,
tapi tak ada niat memperbaiki sistem dan mendidik mahasiswa agar dapat mengubah
keadaan bangsa ini?!
Kalau
cuma sekadar nama baik kampus itu urusan gampang, mau itu terbaik tingkat
kabupaten, propinsi, atau bahkan se-Indonesia; asal kuat duit dan ada mahasiswa
yang mau dipelihara jadi agen yang macet dalam kejujuran, niscaya kampus akan
memiliki nama baik meski ada ketidakwajaran-ketidakwajaran yang terjadi di
dalamnya.
Padahal,
menurut saya itu bukan tujuan pendidikan sebenarnya, tapi entah kenapa malah
banyak perguruan tinggi justru terobsesi ingin diakui terbaik meski sebenarnya
perguruan tinggi itu tak memiliki konsep jelas dalam membangun kualitas Sumber Daya
Manusia bagi Indonesia. Akibat banyaknya perguruan tinggi yang terkesan asal-asalan
dalam membangun konsep pembangunan SDM ini, akhirnya Indonesia pun darurat
manusia berkualitas; benar-benar hanya sedikit orang berkualitas di sini, dan
itupun selalu ditentang oleh orang-orang yang sok berkualitas itu.
Bahkan,
saya juga memiliki pengalaman memuakkan ketika menghadiri acara wisuda sebuah
kampus di Padangsidempuan, yang dihadiri oleh Koordinator Kopertis Wilayah. Dalam
pidatonya, menurut saya dia memuji kampus itu terlalu berlebihan; dengan sangat
percaya diri dia mengatakan bahwa kampus itu adalah kampus yang senantiasa
mengalami perkembangan dari segi kualitas dari waktu ke waktu, dan memiliki
dosen-dosen berkualitas, padahal sebenarnya kampus itu samasekali tak memiliki
dosen berkualitas apalagi konsep yang jelas!
Sejak
saat itu, saya pun mulai meragukan keseriusan (banyak) lembaga pendidikan dalam
membangun Sumber Daya Manusia berkualitas bagi Indonesia. Percaya tak percaya,
banyak lembaga pendidikan di Indonesia justru dijadikan tempat berbisnis, dan mereka
pun hanya memikirkan keuntungan. Saya kira, bila pemakluman atas ketidakwajaran
ini terus dilakukan maka tak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan dihuni
oleh orang-orang tanpa tujuan.*
Sunaryo
JW
Tuesday, 6 November 2018
Padangsidempuan Dalam Puisi
November 06, 2018 sunaryojw
Foto: Vina (Kopipaet)
PERIHAL KOTA SALAK
1/
Manakala
pejabat menyodomi trotoar,
Empu-empu
hukum yang rutin
menangkapi
walang-walang kecil
di
jalan raya
malah
berpaling muka.
2/
Bahkan saat penghulu
kota madya
membangun vila di
tengah kemandulannya
sebagai lelaki beristri,
media justru
menyabdakan:
Sebab dialah
penghulunya
kota sekarang sehat,
maju, dan sejahtera.
Sebab dialah
penghulunya
tak ada lagi lubang di
jalan kota.
Mari!
sama-sama
mengaminkannya.
3/
Alangkah nyaman hidup
orang
di kota salak, boleh
lobi-lobi
biar bisa ngopi bareng
pak mentri.
Tapi, di sini
tak boleh jadi
pemberontak
kalau mau bebas
beranak-pinak.
----------------------
Januari 2018
----------------------
SIMARSAYANG
: potret asmara di Sidempuan.
: potret asmara di Sidempuan.
Di pondok satu kali satu itu
Aku mendengar bisik
tipu daya asmara:
‘Percayalah, aku pasti datang
meminangmu, Sayang’
Ia mengangguk.
‘Jangan takut, Sayang,
tak ada yang berani
menangkap kita di sini,
Sebab, mereka pun bayar
uang keamanan’
Lalu, berpadulah
dua pusaka insan
tak berjasa itu
di situ,
di tempat-tempat
yang memang disediakan
untuk orang-orang
memadu pusaka.
--------------------
Januari 2018
Januari 2018
--------------------
*Sunaryo JW
Friday, 2 November 2018
Puisi-Puisi Sunaryo JW
November 02, 2018 sunaryojw
POTRET LEMBAGA
PENDIDIKAN
/1/
Lembaga
pendidikan, kereta api
mogok
di terowongan panjang
tanpa
lampu;
ada
penumpang teriak minta tolong
ada
penumpang diam seperti batu
ada
penumpang marah-marah
minta
petugas nyalakan lampu
ada
penumpang bicara:
‘Sudahlah,
kau tak usah marah-marah
duduk
saja di bangkumu, kita semua
pasti
keluar dari terowongan gelap ini.’
tapi,
ada
penumpang milih bertahan
ada
penumpang resah keluar pintu
—jalan
kaki, menjauhi kereta itu
mencari
ujung terowongan sendiri.
/2/
Penumpang
dan kereta, telur ayam
dengan
induk yang mengeraminya;
ada
telur jadi anak ayam jantan
ada
telur jadi anak ayam betina
ada
telur tak jadi apa-apa!
/3/
Alangkah
banyak kereta
mogok
di terowongan
tanpa
lampu;
tapi
penumpang tak lagi
mau
berpikir menyalakan api
penumpang
tak lagi
mau
belajar pada arus kali
penumpang
memilih diam
beriman
pada ketakutan
dan
mazhab para masinis
yang
beriman pada kemunafikan.
dan
akhirnya, lembaga-lembaga pendidikan itu
hanya
mampu melahirkan intelektual-intelektual
munafik
berijazah, dari zaman ke zaman.
---------------------------------------
Padangsidempuan,
Juli 2018
---------------------------------------
KESIMPULAN
Ini
mungkin bukan kota
tapi
semacam tulisan tanpa tanda baca;
ada
kendaraan bebas parkir
di
trotoar depan kantor wali kota
ada
lembaga pendidikan macet
meghasilkan
intelektual jujur
tapi
kenapa kalian sebut ini
kota
pendidikan?
Di
sini aku bahkan tak melihat
lampu
merah, apalagi museum.
‘Ois
dah!
Kau
ini seperti bocah yang baru belajar
mengeja
huruf dan angka-angka saja;
ini
kota kan kita punya
kau
juga bisa melakukan apa saja di sini,
tapi,
ya, kau harus bisalah
bergaul
dengan mereka’ katamu.
‘Punya
dua muka maksudmu?’
‘Nah,
tepat sekali, kerna hanya orang orang semacam itulah
yang
dijamin aman sentosa hidup di sini;
apabila
kau memaksakan diri jadi semacam konjungsi
sungguh,
tak akan nyaman hidup di sini’ katamu.
Ah…!
Mungkin
aku lebih nyaman jika pergi saja.
-------------------------------------------
Padangsidempuan,
Agustus 2018
-------------------------------------------
Subscribe to:
Posts (Atom)