Seputar Dunia Pendidikan

Saturday, 27 October 2018

Tak Perlu Kuliah, Asal Punya Tujuan


Lebih baik tak usah kuliah, jika kuliah hanya untuk terlihat “keren”; orang kuliah mesti punya tujuan, bukan cuma untuk sekadar pamer gelar (Sarjana, Magister dan Doktor) di depan orang-orang yang tak kuliah. Tapi mirisnya, di zaman ini justru banyak orang memilih kuliah agar dipandang berwibawa saja, tak banyak yang benar-benar berpikir dirinya kuliah untuk tujuan apa.

Meski pada akhirnya seseorang yang kuliah akan menyandang gelar, tapi sebenarnya gelar tak selamanya bisa dijadikan indikator untuk menilai kualitas seseorang. Karena belum tentu orang dengan banyak gelar lebih berkualitas dibanding orang tanpa gelar, atau bahkan tak tamat sekolah dasar. Mungkin sekadar contoh, para “koruptor di Indonesia”. Para koruptor di Indonesia ini rata-rata bergelar tinggi dan bahkan ada yang tamatan luar negeri; tapi tak perlulah saya sebut satu per satu orang-orang itu di sini, karena kita sudah saling tahu bahwa di Indonesia amat banyak sekali koruptor.

Tak hanya para koruptor sebenarnya, dosen-dosen di zaman ini pun sebenarnya banyak yang tak berkualitas. Masih banyak perguruan tinggi di Indonesia ini yang memelihara orang yang tak sepantasnya jadi dosen; mereka pun digaji, dan kadang mencari tambahan uang masuk dari “mengolah mahasiswa”. Mereka itu rata-rata bergelar Magister, malah ada juga yang bergelar Doktor.

Ada beberapa kemungkinan kenapa orang-orang semacam mereka bisa menjadi dosen di perguruan tinggi, antara lain: mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan (atau malah hubungan asmara) dengan petinggi perguruan tinggi, atau bisa jadi memang perguruan tinggi itu yang tidak selektif ketika menerima tenaga pengajar bagi perguruan tinggi itu sendiri. Saya kira orang-orang seperti merekalah yang menghambat kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.

Selain menghambat kemajuan SDM, sebenarnya mereka juga menjadi penghalang bagi para dosen berkualitas untuk menciptakan perubahan. Karena dosen-dosen berkualitas pasti kalah dengan orang semacam mereka; dosen berkualitas tak pandai “menjilat” sementara mereka kalau tak “menjilat” tak akan puas rasanya hidup mereka. Namun sayangnya, populasi dosen berkualitas saat ini tak banyak, sehingga citra “profesi dosen” kini tak jarang dipandang hina akibat ulah orang-orang yang tak seharusnya menjadi dosen itu.

Dugaan saya, sewaktu kuliah orang-orang seperti mereka memang tak pernah berpikir ingin mengubah tradisi basi yang ada selama ini, makanya ketika mereka (merasa) jadi dosen pun tak pantas digugu dan ditiru—malah pantasnya mereka didepak dari perguruan tinggi itu segera.

Selalu Menghamba Pada Yang Salah

Entah kenapa di zaman ini semakin banyak dosen menghamba pada yang salah, bahkan matimatian berusaha menyingkirkan dosen-dosen yang tak mau mengikuti sistem pada perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Sebenarnya mereka tahu perbuatan mereka salah, tapi karena alasan jabatan mereka pun rela menggadaikan kejernihan berpikir demi membela ketidakwajaran.

Lalu apa artinya orang-orang itu dulu kuliah tinggi kalau hanya untuk beriman pada ketidakwajaran? Orang-orang itu juga nyaman menjadi hamba pemilik perguruan tinggi, dan demi jabatan dan gaji bulanan mereka akan selalu siap memberantas dosen-dosen (atau mahasiswa) yang tak setuju dengan sistem di dalamnya.

Keadaan di atas sekilas mirip dengan keadaan kaum buruh Rusia yang dijelaskan Lenin dalam bukunya, Kepada Kaum Miskin Desa (1903); “Semua rakyat dalam keseluruhannya tetap tinggal hamba kaum birokrat, persis seperti petani-petani dulu adalah hamba tuan tanah”. Begitu juga yang terjadi pada dosen di banyak perguruan tinggi Indonesia saat ini; banyak orang-orang bergelar tinggi hanya jadi hamba pemilik perguruan tinggi.

Memang amat disayangkan, bertahun-tahun mereka kuliah dan menghabiskan banyak biaya akhirnya cuma jadi sampah dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Orang-orang itu merasa bangga memiliki gelar dan jabatan di perguruan tinggi, bicaranya melulu soal moral dan etika, tetapi mereka sendiri nyaman hidup dalam kemunafikan.

Jika lembaga pendidikan hanya menyebabkan seseorang jadi tukang olah, lalu untuk apa ada lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah ataupun swasta. Misalnya selama ini lembaga pendidikan dikelola dengan benar dan memiliki tujuan yang jelas, saya yakin tak akan ada sampah di lembaga pendidikan ataupun lembaga pemerintahan.

Dan, apabila sistem dalam lembaga pendidikan telah berjalan seperti seharusnya, maka saya yakin bahwa setiap orang yang kuliah saat ini pasti akan punya tujuan untuk mengubah keadaan, bukan sekadar dapat gelar lalu dipamerkan.

Sebagaimana dikatakan Roem Topitamasang perihal sekolah dan segala macam atribut dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (2010), bahwa sekolah, pada akhirnya memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadah lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan.

Bila kita melihat keadaan saat ini, memang sudah bukan waktunya lagi kita pamer gelar tinggi atau pamer jabatan sebab mengajar di perguruan tinggi. Justru yang seharusnya kita pikirkan saat ini adalah bermanfaat atau tidak lembaga pendidikan bagi kemajuan Sumber Daya Manusia di Indonesia. Tak perlu lagi lembaga pendidikan Indonesia memelihara dosen yang serba seolaholah seperti kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Karena sebenarnya memelihara orang-orang semacam mereka justru akan menyebabkan perguruan tinggi selalu melahirkan sampah-sampah baru di Indonesia. Sekarang mari kita bayangkan apa yang akan terjadi pada dunia pendidikan Indonesia jika dosen-dosen di waktu yang akan datang adalah hasil didikan orang-orang semacam mereka saat ini, lalu dosen-dosen generasi berikutnya juga dididik oleh generasi (sampah) sebelumnya; jawabnya, dunia pendidikan Indonesia akan semakin memprihatinkan.

Misalnya saya diminta berpendapat perihal dunia pendidikan saat ini, maka saya akan mengatakan bahwa kalian tak perlu kuliah, asal punya tujuan—tujuan untuk mengubah sistem yang selama ini disalahgunakan. Dunia pendidikan saat ini benarbenar tak membutuhkan sekadar gelar tinggi, tetapi orang-orang yang berpikir maju dan tidak macet dalam inovasi.*

Sunaryo JW

Friday, 26 October 2018

Kecerdasan Profesi


Membajak sudah jelas kerja petani, bukan kerja dosen perguruan tinggi. Kalau mereka ikut-ikutan mem­bajak, sama dengan mereka mele­cehkan profesi petani. Saya me­naruh hormat kepada dosen urakan yang mampu mengubah pola pikir, tinimbang dosen rapi yang hanya mempersempit, atau malah mengo­tori pola pikir mahasiswanya.
Lucunya, di Kota Padang­sidem­puan banyak akademisi (dosen) yang tidak tahu malu, mereka sangat percaya diri dan bangga dengan status kedosenannya, padahal mereka sedang merendahkan pro­fesi petani. Mereka yang seharusnya cerdas berprofesi, justru tidak mencerminkan kecerdasan yang dibangga-banggakannya itu di lingkungan kampusnya.
Berkedok kegiatan mahasiswa, biasanya dosen perguruan tinggi beralih peran jadi petani berdasi. Para dosen yang beralih peran akan melupakan TUPOKSI sementara waktu, tapi ada juga yang melu­pakan selamanya. Lebih parah lagi, mereka tidak hanya rajin membajak mahasis­wa, melainkan sesama dosen (dosen baik) yang memang benar-benar lurus, dan cerdas dalam berprofesi.
Hal ini sengaja mereka lakukan karena takut bila dosen yang benar-benar cerdas berprofesi itu akan mengancam keberadaan mereka saat membajak mahasiswa (teru­tama mahasiswa baru, dan maha­siswa semester akhir). Kasihan betul masyarakat yang berprofesi sebagai petani kalau pekerjaan mereka diambil alih para akademisi (dosen) perguruan tinggi.
Dalam masalah ini, seharusnya Badan Eksekutif Ma­hasiswa (BEM) berada di garis depan untuk mem­bela hak mahasiswa-BEM harus men­dalami keluhan mahasiswa yang merasa tertekan dengan tindakan dosen. Karena pemegang kebijakan tertinggi di kalangan mahasiswa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Tidak bisa dipungkiri, banyak oknum yang memanfaatkan kegia­tan mahasiswa sebagai ajang mem­perkaya diri; salah satunya dosen. Dosen tipe ini biasanya tidak paham apa-apa, hakikat kedosenannya pun perlu diragukan! Tapi, di sini mere­ka akan menjelma manusia yang sok paham betul tentang segala hal, sebenarnya mereka bodoh.
Dalam kekacauan ini, BEM seharusnya hadir di tengah masyara­kat kampus yang terlanjur takut. Mereka harus cerdas mengkaji permasalahan dengan turun lang­sung men­cari tahu, dan mendengar betul suara mahasiswa yang diam karena tekanan dosen-BEM harus betul-betul memper­juangkan hak mahasiswa yang tertekan ini, karena yang memilih mereka adalah mahasiswa bukan dosen.
BEM bersama dosen bidang kemahasiswaan orang yang paling bertanggungjawab atas masalah ini-bukan malah ikut mendukung tin­dakan dosen yang memanfaatkan mo­­ment. Mereka harus cerdas meng­­kaji persoalan; kenapa maha­siswa yang awalnya di belakang bicara menolak, tiba-tiba diam dan meng-iya-kan sesuatu saat dihadap­kan dengan dosen.
Kalau memang mereka cerdas berprofesi, di sini mereka seharus­nya menaruh curiga. Tapi, celaka­nya di Padang Sidempuan ini berbe­da-hanya beberapa kampus di Padang Si­dempuan yang organisasi BEM-nya perduli terhadap kesejah­teraan masyarakat kampus yang dipimpinnya-selebihnya mandul.
Memang betul, melogika keada­an bukan hal yang mudah, juga tidak semua orang bisa menggunakan ke­pekaan mereka untuk mencurigai keadaan yang tak logis. Tapi di sini­lah sebenarnya profesi mereka diuji. Apakah mereka hanya mampu mengguna­kan logika untuk meng­kaji keuntu­ngan pribadi, atau mereka menggu­nakan logika untuk mengkaji ketidaklogisan yang terjadi di dalam kampusnya.
Melepas jubah kebesaran
Seorang pemimpin yang adil bukan yang enak-enakan duduk di kursi membanggakan jubah kebesa­rannya. Mereka yang betul-betul membela rakyat harus melepas jubah untuk menelusuri keadaan di masyarakat. Tak jarang pemimpin yang menyamar jadi masyarakat biasa untuk menelusuri kejahatan anggotanya. Mereka (pemimpin) yang benar-benar membela kesejah­teraan masyarakat tidak akan malu sekalipun harus menyamar jadi tukang sapu.
Seperti dimuat Merdeka.Com, Selasa, 18 Oktober 2016. Seorang  Kapolda Sumsel Irjen Pol Djoko Prastowo, yang menyamar sebagai warga sipil dan berpura-pura melanggar lalu lintas. Hasilnya, Djoko menemukan kejadian itu dan menangkap langsung anggota Polri yang melakukan pungli.
Bukan hanya Kapolda Sumsel yang sempat menyamar, Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam IM) Mayjen TNI Agus Kriswanto juga pernah menyamar jadi penarik becak motor (Betor), saat menyidak asrama TNI PHB Lam­priet Banda Aceh, untuk melihat kesiapan dalam rangka menyambut HUT Kemerde­kaan RI Ke-70. Berita ini dimuat oleh DetikNews, Minggu (16/8/2015). Dalam hal ini, saya mengang­gap mereka paham dan cerdas dalam berprofesi.
Kembali pada cerita sebelumnya, permasalahan yang timbul di kalangan mahasiswa seharusnya ditangkap oleh BEM, dan mereka wajib menelusuri sampai akar perma­salahan. Semua itu harus dilakukan untuk mewujudkan ke­se­jahteraan serta kenyamanan mahasiswa dalam meng­ikuti proses pembelajaran.
Di sini, dosen bidang kemaha­siswaan juga harus men­jembatani suara mahasiswa yang disampaikan oleh BEM. Dosen bidang kemaha­siswaan tak boleh bersikap subjek­tif, dia harus netral. Begitu juga saat menyikapi masalah, dia tak boleh pro kepada dosen yang diduga me­lakukan tindakan inter­vensi kepada mahasiswa.
Jabatannya saja bidang kema­hasis­waan, ya harus siap mendengar keluh-kesah mahasiswa-bukan malah menutupi kebusukan rekan sejawat mereka (dosen), dengan mengadu domba mahasiswa. Orang yang pantas menduduki posisi bidang kemahasiswaan ini memang harus pandai me­nimbang, bukan pandai menghitung untung di belakang.
Karena, dalam setiap perma­sa­lahan yang terjadi di kalangan ma­ha­siswa, bidang kemahasiswaan ditun­tut harus cerdas berprofesi. Sekalipun di mejanya ada bukti surat pernyataan mahasiswa telah meng-iya-kan se­suatu yang awalnya mere­ka tolak, dia tak boleh percaya begitu saja. Dia harus melepas jubah kebe­sarannya dan turun langsung-dia harus bisa melogika ketidaklogisan ini.
Tapi sekali lagi, hanya beberapa kampus di Padang Si­dempuan yang memiliki dosen kemahasiswaan cerdas dalam berprofesi, selebihnya mandul. Di sini, Badan Ekse­kutif Mahasiswa juga mayoritas hanya patuh dan taat terhadap perintah dosen tinimbang membela kesejah­teraan rakyat kampus (mahasiswa).
Padahal, rata-rata tempat pendi­dikan di kota Padang Si­dempuan berusia puluhan tahun. Usia ini kalau diibaratkan manusia, mungkin saat ini mereka sudah paruh baya. Jika dalam usia paruh baya tidak juga bisa menjadi contoh, lantas mengapa mereka bersikeras menye­but kota ini sebagai Kota Pendidi­kan?
Alangkah lucunya dunia pendi­dikan di kota ini, kota pendidikan yang seharusnya mampu mempro­duksi SDM ber­kualitas, malah lebih produktif melahirkan dan meme­lihara angkatan gagap yang tidak cerdas berprofesi. Mi­ris!***
Sunaryo JW
Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/kecerdasan-profesi/485242/2018/01/13

Wednesday, 24 October 2018

Mahasiswa Tak Boleh Nyaman Melihat Ketidakwajaran


“Jika sawah adalah ladang bagi petani, maka “mahasiswa” adalah ladang bagi para dosen.”

Mungkin seperti itulah realita yang terjadi hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia saat ini; banyak dosen memanfaatkan kekuasaannya untuk membajak para mahasiswa. Tapi bedanya dengan petani mungkin alat kerjanya saja, jika petani memakai cangkul, maka dosen alat kerjanya adalah “moral”.

Magnis-Suseno (dalam Budiningsih, 2008: 24) mengatakan moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Siapapun tentu akan terdiam bila disebut tak bermoral, sama halnya dengan mahasiswa. Mereka jelas lemah atau bahkan bersedih hati menerima predikat baru yang disematkan dosen kepadanya itu. Karena kita sama-sama tahu, bahwa menyinggung soal moral seseorang pasti akan berdampak buruk pada seseorang itu sendiri, apalagi mahasiswa dikatakan tak lagi bermoral hanya karena mendebat pernyataan dosen.

Alangkah bodoh jika dosen justru menghindari perdebatan dengan mahasiswa, bukankah seharusnya dosen membimbing mahasiswa agar bisa berdebat dan mempertahankan argumen secara logis? Seharusnya sih memang begitu, tapi nyatanya saat ini malah banyak dosen tak berani memberi kesempatan mahasiswa untuk berargumen secara logis, malah kalau mahasiswa berani mendebat pernyataannya di kelas justru dikatakan tak punya moral. Amatlah bodoh jika dosen bersikap semacam itu!

Menurut saya, perilaku dosen seperti itulah yang menyebabkan mahasiswa di zaman tak banyak yang memiliki keberanian untuk mengkritisi suatu keadaan. Coba bayangkan jika setiap mahasiswa yang tak sepakat dengan pendapat dosen selalu dikatakan “tak bermoral”, apakah mereka akan berani lagi menyatakan ketidaksepahamannya itu di kemudian hari? Saya rasa mereka akan berpikir dua kali ketika ingin melakukan hal itu.

Saya pun heran, kenapa dosen justru bangga bisa membodohi mahasiswanya sendiri. Sementara dosen itu profesi yang mulia, tapi mereka malah memanfaatkan jabatan itu untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara busuk seperti itu—membodohi dan membajak mahasiswa. Apakah menjadi dosen memang tujuan akhirnya mencari keuntungan dengan cara bodoh begitu? Saya rasa tidak, sebab saya juga pernah bertemu dengan dosen yang profesional; saya anggap dia profesional karena tak mencari keuntungan dengan cara busuk dari profesinya sendiri.

Saya hormat pada dosen yang meski mengeluh atas besarnya tanggung jawab yang diembannya di kampus, tapi selalu bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dengan berbisnis di luar kampusnya, tapi saya tak perlu hormat pada dosen yang mengeluh atas besarnya tanggung jawab di kampus tapi memanfaatkan kegiatan-kegiatan mahasiswa untuk menguntungkan kantong pribadi.

Dosen semacam mereka itu sebenarnya “sampah” yang musti dibakar, bukan malah dilindungi apalagi dipertahankan, karena mereka dapat merusak citra profesi. Tapi sayangnya, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memelihara dosen-dosen seperti mereka daripada dosen yang benar-benar menjaga kemuliaan profesinya sendiri.

Jika begitu, misalnya ada kejadian mahasiswa berbuat di luar kewajaran pada dosen, seharusnya jangan hanya mahasiswa yang selalu disalahkan, tapi perguruan tinggi itu juga mesti mengevaluasi dosen-dosen yang ada di dalam perguruan tinggi itu sendiri.

Jujur, saya bingung melihat fenomena yang terjadi di perguruan tinggi saat ini; ketika dosen melakukan kesalahan justru dilindungi oleh rekan sejawat dan petinggi perguruan tinggi, kadang mereka juga berusaha keras mencari cara agar mahasiswa bisa dijadikan tumbal dalam masalah itu. Tetapi, ketika mahasiswa melakukan hal di luar batas kewajaran, para dosen itupun boleh seenaknya mencaci perbuatan yang dilakukan mahasiswa tanpa introspeksi terlebih dahulu.

Sebenarnya apa fungsi dosen di perguruan tinggi sekarang? Apakah fungsi dosen hanya untuk melahirkan manusia-manusia tak berkualitas, yang hanya tahu mencari keuntungan dengan cara menginjak kepala orang lain? Atau, dosen hanya bertujuan untuk melahirkan generasi-generasi yang tak mampu memecahkan persolan, lalu menggunakan “moral” sebagai senjata agar oranglain tak melihat ketololan dalam dirinya?

Betapa miris menyaksikan keadaan di perguruan tinggi saat ini, tapi entah kenapa tak banyak orang yang mau jujur dan membahas masalah serius ini, khususnya mahasiswa. Apakah mereka takut dikatakan tak bermoral oleh dosen (sampah) itu? Ketahuilah, bahwa dosen bukan tuhan, jadi mereka boleh ditentang jika tak lagi lurus dalam berjalan. Apabila kita selalu memaklumi ketidakwajaran yang terjadi, apalah artinya kita sebagai manusia yang berakal dan berpikir di bumi ini?*


Sunaryo JW

Tuesday, 23 October 2018

PUISI SUNARYO JW


foto by Arif Munanda
TIGA FRAGMEN KESEDIHAN

1/

Di pesta perkawinan, ahli adat itu
raja dengan singgasananya;

ada tari penghormatan baginya
dan penyematan lencana

sebagai tanda bagi ahli adat itu
boleh berkuasa, pada hari itu

sehari atau dua hari,
atau dua hari lebih,
tak ada yang boleh menyangkal
segala sabdanya, di istana bongkar-pasang itu;

ahli adat tak lain lilin bagi gelap
atau kompas bagi penjelajah.

2/

Tapi, bila habis waktu berpesta
pangkat ahli adat itu
turut kedaluwarsa,

tak ada lagi tari penghormatan
atau penyematan lencana

kerna tanpa pesta
tanpa upacara-upacara
tak akan ada daulat ahli adat!

3/

Kini, setelah ahli adat itu
selesai membaca kitab keadaan

ia lantas berpikir
bagaimana cara bertahan hidup

agar tak layu mawar di dapur
dan tak gugur daun di kamar tidur.

Kuli, ya, kuli!

Tak ada selain kuli
di wilayah tanpa introspeksi;

kuli panggul, kuli bangunan
akan dilahap para ahli adat

yang tak bisa berdaulat setiap saat.

“Ya, beginilah, kalau jadi raja musiman
tanpa pesta, tanpa upacara-upacara

ahli adat tak lain perut yang lapar

perlu diisi, perlu perjuangan,
agar tak mati ditikam kelaparan,” katamu.

-------------------------------------
Padangsidempuan, Juli 2018
-------------------------------------

(Haripuisi.info, 26 Agustus 2018)

Sunday, 21 October 2018

Selamatkan Profesi


Mengancam peserta didik saat mereka bersikap jujur (langsung ataupun melalui sebuah tulisan), adalah salah satu perilaku “tolol” orang yang bekerja sebagai tenaga pendidik. Tenaga pendidik yang suka melakukan hal semacam ini pantasnya berhenti dari pekerjaan yang “dibangga-banggakannya” itu (guru atau dosen), karena orang seperti mereka itulah yang merusak citra “profesi” tenaga pendidik—mereka itu sebenarnya “tolol”, tapi sok berwajah “pendidik”, dan biasanya orang semacam mereka itu hanya mengincar “jabatan” agar tampak “terhormat”.

Saya teringat seorang perempuan bernama Amel—bagi saya, dia adalah perempuan hebat dan, laik saya katakan sebagai “pahlawan”, meskipun bagi saya pribadi. Tapi sayang, belum sempat saya bertemu dan berbincang dengannya, dia sudah lebih dulu mangkat pada bulan April 2017 lalu, di salah satu Rumah Sakit Kota Padangsidempuan. Semoga Allah meridhoi kembalinya saudara kita. Amin

Amel mangkat meski sempat diwarat beberapa hari usai menenggak racun rumput yang dibelinya di warung. Dia nekat menenggak racun rumput itu karena merasa tak tahan menerima perlakuan intimidasi dari oknum guru yang tersinggung saat “kejahatannya” ditunjukkan, lalu dia (guru) memanggilnya dan menyinggung soal penjara, serta denda ratusan juta, alasannya: karena Amel berani mengungkap perilaku “tercela” oknum guru saat ujian. Kematian Amel benar-benar telah mencoreng wajah pendidikan di Kota Padangsidempuan.

Pertanyaan saya, tidak adakah tempat bagi orang-orang “jujur” yang berani mengungkap kejahatan para oknum perusak masa depan di Kota Padangsidempuan ini?! Kalau ada, mana buktinya?! Kenapa Amel harus diperlakukan sebiadab itu sehingga dia nekat mengakhiri hidupnya. Tidak adakah yang berpikir bahwa dia itu perempuan yang akan “melahirkan” generasi “jujur” berikutnya, yang bisa memperbaiki Kota Padangsidempuan ini?!

Tidak Hanya di Sekolah

Belum reda amarah melihat orang-orang “tolol” yang mengaku-ngaku sebagai “guru”, timbul masalah baru yang semakin memancing amarah saya. Kisah ini dialami seorang kawan saya berinisial SJ, yang juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa oknum dosen di kampusnya, di Kota Padangsidempuan—dia (SJ) kuliah di salah satu kampus swasta yang ada di Kota Padangsidempuan.

Kisah itu terjadi pada bulan November 2017 lalu—hanya selang beberapa bulan saja dengan kejadian Amel. Saat itu, kata SJ, dia terlanjur kalap melihat perilaku orang-orang yang memiliki jabatan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus malah diam dan ikut-ikutan mendukung perilaku “tolol” beberapa oknum “dosen” yang memanfaatkan kegiatan mahasiswa untuk mencari keuntungan tanpa memikirkan nasib “mahasiswa baru” yang menjadi korban. Dia pun memutuskan untuk mengungkapkannya melalui tulisan singkat di akun facebook; intinya menyinggung soal perbuatan dosen-dosen dan BEM yang bekerjasama melakukan pembajakan terhadap mahasiswa baru.

Kronologinya sama dengan Amel—dipanggil ke kantor dan ditakut-takuti oleh dosen Bidang Kemahasiswaan, bahkan lebih kasar kata-kata yang harus diterima kawan saya ini: selain ditakut-takuti dengan UU ITE, dia juga dikatakan “tak punya etika”, begitulah saya ingat, saat dia menceritakan kisahnya waktu itu.

Memang terdengar sangat aneh, tapi, ya, begitulah realitanya: orang-orang yang seharusnya membimbing peserta didik untuk belajar menenun kejujuran, malah melakukan perbuatan yang justru dapat membunuh kemerdekaan peserta didik dalam menenun kejujuran itu sendiri.

Celakanya, dalam hal ini, mereka justru tak mau disalahkan! Mereka malah saling menutupi, dan melakukan “pembusukan” atau “membunuh karakter” peserta didik di hadapan peserta didik lain, hal ini mereka lakukan supaya tetap terlihat “intelektual” dan “suci” dari perbuatan “tercela”. Itulah sebabnya, kejadian yang dialami Amel, ataupun kawan saya itu, selalu menjadi tradisi di sini—karena mereka (yang mengaku pendidik) malah saling membenarkan perbuatan “tolol” itu dan menjadikan peserta didik sebagai “tumbal”.

Entah kenapa, saya lebih sering bertemu dengan orang-orang “tolol” yang bersembunyi dalam pakaian pendidik daripada pendidik yang sebenarnya. Bisa dihitung dengan jari orang yang benar-benar pendidik di kota ini, dan, kesedihan pun selalu menyelimuti orang yang benar-benar pendidik itu. Pasalnya, pendidik yang benar-benar pendidik ini lebih sering tenggelam akibat sistem “buruk” yang diterapkan kebanyakan sekolah/kampus di kota ini, atau, bahkan sistem yang diterapkan kota ini sendiri.

Lantas, bagaimana dengan klaim orang-orang selama ini—Kota Padangsidempuan adalah kota pendidikan, bila sekolah dan kampus malah membunuh kemerdekaan peserta didik dalam menenun kejujuran?! Masih pantaskah kita sematkan sebutan ini?!

Saatnya Tegas

Apabila sekolah atau kampus yang ada di Kota Padangsidempuan berani tegas menindak orang-orang “tolol” berseragam “guru dan dosen”, saya yakin, tak akan “buruk” citra “profesi guru dan dosen”, di kota ini khususnya. Perlu kiranya kita sadari, buruknya citra pendidik di kota ini sebenarnya disebabkan oleh sekolah dan kampus yang lebih memilih memelihara “penipu” seperti mereka.

Akibatnya, pendidik yang benar-benar pendidik tidak bisa membela profesi saat orang menilai tentang buruknya citra profesi mereka sebagai pendidik, khususnya di Kota Padangsidempuan. Malah, ada hal yang saya takutkan, mereka yang awalnya ingin menyelamatkan profesi pendidik juga ikut-ikutan tak perduli, karena lingkungan tempatnya bekerja lebih didominasi oleh penipu berseragam pendidik.

Bisa saja itu terjadi, karena kejahatan selalu disebabkan oleh kesempatan yang didukung oleh lingkungan. Seperti digambarkan Budi Hatees perihal kejahatan dalam bukunya, Ulat di Kebun Polri (2013). Kejahatan atau malpraktek dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan oleh watak individu, melainkan besar kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya.

Sangat berbahaya bila orang-orang seperti mereka masih dibiarkan ada dalam sekolah maupun kampus. Karena, bukan mustahil mereka akan semakin merusak tatanan profesi pendidik yang mulia itu. Masalah ini benar-benar harus dipikirkan, terutama oleh sekolah dan kampus yang ada di Kota Padangsidempuan—sekolah dan kampus harus lebih selektif.

Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, profesi pendidik harus diselamatkan. Caranya, sekolah dan kampus harus membuang sampah-sampah yang menyebabkan citra profesi pendidik itu menjadi buruk.*


Sunaryo JW