Membaca Lembaga Pendidikan Indonesia
“Banyak
orang mengorbankan segalanya demi kepalsuan”. (Albert Camus)
Saya setuju dengan pernyataan Albert Camus tersebut; banyak
orang rela mengorbankan segalanya demi kepalsuan, apalagi dalam dunia perguruan
tinggi. Percaya atau tidak, saat ini lebih banyak dosen perguruan tinggi yang berlebihan
ketika membela “kampus”; bahkan mereka rela jadi munafik demi nama baik bagi tempat
yang sebenarnya tak baik. Dosen-dosen semacam itupun akan mengatasnamakan “pendidikan”
apabila publik meminta pertanggungjawaban atas keadaan yang terjadi di perguruan
tinggi tempat mereka mencari kehidupan.
Seperti halnya pernyataan Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam,
ketika menyayangkan sikap Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung
UGM, mengenai kasus pemerkosaan yang dialami oleh mahasiswi UGM ketika menjalani
proses KKN. Pernyataan Dekan FT UGM tersebut dimuat media Tirto.id (Beda sikap BEM dan Dekan FT UGM soal
Perkosaan Mahasiswa), edisi 08 November 2018.
Dalam berita itu, saya melihat Dekan FT UGM seolah kecewa atas
berita yang diterbitkan Balairung Press; dia menyayangkan media internal itu
karena mem-blow up kasus pemerkosaan,
“seolah-olah ada pembiaran, padahal kan tidak” (kata dia). Tapi, saya justru
menganggap sikap Dekan FT UGM ini keterlaluan; terlalu nampak kalau dia tak mau
publik beranggapan jelek terhadap kampus itu!
Meski boleh mati-matian membela nama baik sebuah institusi; tapi
kalau dalam membela nama baik justru membuat kita tidak jujur, menurut saya
percuma jadi manusia dengan gelar tinggi; apalagi berani mengatasnamakan “pendidikan”
demi menutupi ketidakwajaran yang terjadi. Usul saya bagi dosen-dosen, kalau
tak sanggup lebih baik berhenti jadi dosen daripada jadi sampah dalam dunia
pendidikan Indonesia.
Melihat kejadian semacam ini, tiba-tiba saya terkenang kejadian yang
saya alami bulan November 2017 lalu; saat saya masih jadi mahasiswa di salah
satu perguruan tinggi di Kota Padangsidempuan. Saat itu, saya menentang sikap ketua
Badan Eksekutif Mahasiswa yang malah ikut mendukung pembajakan mahasiswa baru,
dan pihak kampus pun melakukan hal serupa dengan Dekan FT UGM ini; menyayangkan
sikap saya yang membongkar ketidakwajaran.
Saya pun heran melihat dunia pendidikan saat ini, kenapa ketika
kita bersikap jujur justru diintimidasi, tapi bila kita berbakat jadi penipu
malah dilindungi dan bahkan ada yang sampai diberi beasiswa oleh perguruan
tinggi. Kenapa banyak perguruan tinggi cuma memikirkan cara menjaga nama baik,
tapi tak ada niat memperbaiki sistem dan mendidik mahasiswa agar dapat mengubah
keadaan bangsa ini?!
Kalau
cuma sekadar nama baik kampus itu urusan gampang, mau itu terbaik tingkat
kabupaten, propinsi, atau bahkan se-Indonesia; asal kuat duit dan ada mahasiswa
yang mau dipelihara jadi agen yang macet dalam kejujuran, niscaya kampus akan
memiliki nama baik meski ada ketidakwajaran-ketidakwajaran yang terjadi di
dalamnya.
Padahal,
menurut saya itu bukan tujuan pendidikan sebenarnya, tapi entah kenapa malah
banyak perguruan tinggi justru terobsesi ingin diakui terbaik meski sebenarnya
perguruan tinggi itu tak memiliki konsep jelas dalam membangun kualitas Sumber Daya
Manusia bagi Indonesia. Akibat banyaknya perguruan tinggi yang terkesan asal-asalan
dalam membangun konsep pembangunan SDM ini, akhirnya Indonesia pun darurat
manusia berkualitas; benar-benar hanya sedikit orang berkualitas di sini, dan
itupun selalu ditentang oleh orang-orang yang sok berkualitas itu.
Bahkan,
saya juga memiliki pengalaman memuakkan ketika menghadiri acara wisuda sebuah
kampus di Padangsidempuan, yang dihadiri oleh Koordinator Kopertis Wilayah. Dalam
pidatonya, menurut saya dia memuji kampus itu terlalu berlebihan; dengan sangat
percaya diri dia mengatakan bahwa kampus itu adalah kampus yang senantiasa
mengalami perkembangan dari segi kualitas dari waktu ke waktu, dan memiliki
dosen-dosen berkualitas, padahal sebenarnya kampus itu samasekali tak memiliki
dosen berkualitas apalagi konsep yang jelas!
Sejak
saat itu, saya pun mulai meragukan keseriusan (banyak) lembaga pendidikan dalam
membangun Sumber Daya Manusia berkualitas bagi Indonesia. Percaya tak percaya,
banyak lembaga pendidikan di Indonesia justru dijadikan tempat berbisnis, dan mereka
pun hanya memikirkan keuntungan. Saya kira, bila pemakluman atas ketidakwajaran
ini terus dilakukan maka tak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan dihuni
oleh orang-orang tanpa tujuan.*
Sunaryo
JW
Maaf sebelumnya, jika pertanyaan saya kurang baik
ReplyDeleteKenapa abanganda tidak menyebutkan universitas yang ada d padangsidempuan tersebut?
Sedangkan yg di jawa abanganda menyebutkan nama universitasnya?
He he he
DeleteKasihan nanti tutup pula kampusnya, kalau yang di jawa kan sudah kuat.
Terima kasih sudah mampir, Borlub. Salam.