Seputar Dunia Pendidikan

Sunday, 11 November 2018

Membaca Lembaga Pendidikan Indonesia



“Banyak orang mengorbankan segalanya demi kepalsuan”. (Albert Camus)

Saya setuju dengan pernyataan Albert Camus tersebut; banyak orang rela mengorbankan segalanya demi kepalsuan, apalagi dalam dunia perguruan tinggi. Percaya atau tidak, saat ini lebih banyak dosen perguruan tinggi yang berlebihan ketika membela “kampus”; bahkan mereka rela jadi munafik demi nama baik bagi tempat yang sebenarnya tak baik. Dosen-dosen semacam itupun akan mengatasnamakan “pendidikan” apabila publik meminta pertanggungjawaban atas keadaan yang terjadi di perguruan tinggi tempat mereka mencari kehidupan.

Seperti halnya pernyataan Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam, ketika menyayangkan sikap Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM, mengenai kasus pemerkosaan yang dialami oleh mahasiswi UGM ketika menjalani proses KKN. Pernyataan Dekan FT UGM tersebut dimuat media Tirto.id (Beda sikap BEM dan Dekan FT UGM soal Perkosaan Mahasiswa), edisi 08 November 2018.

Dalam berita itu, saya melihat Dekan FT UGM seolah kecewa atas berita yang diterbitkan Balairung Press; dia menyayangkan media internal itu karena mem-blow up kasus pemerkosaan, “seolah-olah ada pembiaran, padahal kan tidak” (kata dia). Tapi, saya justru menganggap sikap Dekan FT UGM ini keterlaluan; terlalu nampak kalau dia tak mau publik beranggapan jelek terhadap kampus itu!

Meski boleh mati-matian membela nama baik sebuah institusi; tapi kalau dalam membela nama baik justru membuat kita tidak jujur, menurut saya percuma jadi manusia dengan gelar tinggi; apalagi berani mengatasnamakan “pendidikan” demi menutupi ketidakwajaran yang terjadi. Usul saya bagi dosen-dosen, kalau tak sanggup lebih baik berhenti jadi dosen daripada jadi sampah dalam dunia pendidikan Indonesia.

Melihat kejadian semacam ini, tiba-tiba saya terkenang kejadian yang saya alami bulan November 2017 lalu; saat saya masih jadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Padangsidempuan. Saat itu, saya menentang sikap ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang malah ikut mendukung pembajakan mahasiswa baru, dan pihak kampus pun melakukan hal serupa dengan Dekan FT UGM ini; menyayangkan sikap saya yang membongkar ketidakwajaran.

Saya pun heran melihat dunia pendidikan saat ini, kenapa ketika kita bersikap jujur justru diintimidasi, tapi bila kita berbakat jadi penipu malah dilindungi dan bahkan ada yang sampai diberi beasiswa oleh perguruan tinggi. Kenapa banyak perguruan tinggi cuma memikirkan cara menjaga nama baik, tapi tak ada niat memperbaiki sistem dan mendidik mahasiswa agar dapat mengubah keadaan bangsa ini?!

Kalau cuma sekadar nama baik kampus itu urusan gampang, mau itu terbaik tingkat kabupaten, propinsi, atau bahkan se-Indonesia; asal kuat duit dan ada mahasiswa yang mau dipelihara jadi agen yang macet dalam kejujuran, niscaya kampus akan memiliki nama baik meski ada ketidakwajaran-ketidakwajaran yang terjadi di dalamnya.

Padahal, menurut saya itu bukan tujuan pendidikan sebenarnya, tapi entah kenapa malah banyak perguruan tinggi justru terobsesi ingin diakui terbaik meski sebenarnya perguruan tinggi itu tak memiliki konsep jelas dalam membangun kualitas Sumber Daya Manusia bagi Indonesia. Akibat banyaknya perguruan tinggi yang terkesan asal-asalan dalam membangun konsep pembangunan SDM ini, akhirnya Indonesia pun darurat manusia berkualitas; benar-benar hanya sedikit orang berkualitas di sini, dan itupun selalu ditentang oleh orang-orang yang sok berkualitas itu.

Bahkan, saya juga memiliki pengalaman memuakkan ketika menghadiri acara wisuda sebuah kampus di Padangsidempuan, yang dihadiri oleh Koordinator Kopertis Wilayah. Dalam pidatonya, menurut saya dia memuji kampus itu terlalu berlebihan; dengan sangat percaya diri dia mengatakan bahwa kampus itu adalah kampus yang senantiasa mengalami perkembangan dari segi kualitas dari waktu ke waktu, dan memiliki dosen-dosen berkualitas, padahal sebenarnya kampus itu samasekali tak memiliki dosen berkualitas apalagi konsep yang jelas!

Sejak saat itu, saya pun mulai meragukan keseriusan (banyak) lembaga pendidikan dalam membangun Sumber Daya Manusia berkualitas bagi Indonesia. Percaya tak percaya, banyak lembaga pendidikan di Indonesia justru dijadikan tempat berbisnis, dan mereka pun hanya memikirkan keuntungan. Saya kira, bila pemakluman atas ketidakwajaran ini terus dilakukan maka tak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan dihuni oleh orang-orang tanpa tujuan.*

Sunaryo JW



2 comments:

  1. Maaf sebelumnya, jika pertanyaan saya kurang baik
    Kenapa abanganda tidak menyebutkan universitas yang ada d padangsidempuan tersebut?
    Sedangkan yg di jawa abanganda menyebutkan nama universitasnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. He he he
      Kasihan nanti tutup pula kampusnya, kalau yang di jawa kan sudah kuat.

      Terima kasih sudah mampir, Borlub. Salam.

      Delete