Seputar Dunia Pendidikan

Sunday, 27 January 2019

Rusaknya Pola Pikir Orang-Orang Berpendidikan


gambar : google

“Kejahatan yang sebenarnya adalah melarang mahasiswa mengkritisi ketidakwajaran yang terjadi dalam kampusnya sendiri”.

Menghalangi mahasiswa melakukan hal yang seharusnya dilakukan (mengkritisi ketidakwajaran) menurut saya penyimpangan paling fatal yang dilakukan kalangan dosen. Apa sebenarnya yang mereka takutkan dari kritik?!

Tak ada yang berkurang sebenarnya setelah mendapat kritikan, malah seharusnya dari kritik tersebut mereka bisa mengubah hal-hal yang memang tak pantas dilakukan oleh seorang tenaga pendidik. Tapi nyatanya masih banyak dosen tidak terima ketika dikritik kesalahannya, lucunya lagi kadang ada dosen justru mengintimidasi mahasiswa yang mengkritik tersebut.

Di zaman kuliah dulu, saya sering menyaksikan adik-adik mahasiswa diberi nilai buruk, bahkan sampai dibenci dosen-dosen ketika ikut mengkritisi kebijakan kampus. Saya juga mengalami, tapi sudah kebal diperlakukan seperti itu. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan, sebenarnya disaat itu saya merasa bersalah pada adik-adik mahasiswa karena mengajak mereka melawan ketidakwajaran yang terjadi di rumah kami sendiri.

Alangkah lucunya dunia pendidikan tinggi saat ini, hal yang salah malah matimatian dibela dan dilindungi, sementara hal yang seharusnya dilakukan malah dimatikan dengan dalih menjaga nama baik perguruan tinggi.

Menanam Benih Dendam

Saya kira ada hal yang luput dari ingatan banyak dosen, yakni benih dendam. Ya, benih dendam amat berbahaya jika ditanam dan disiram hingga subur di hati para mahasiswa, apalagi sampai bertahun-tahun lamanya.

Dendam jelas perasaan tidak terima karena orang merasa diperlakukan tidak adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan tindakan balasan, yakni kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan akan terus melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus. (Wattimena, 2016: 20)

Saya khawatir misalnya benih dendam itu ditanam di hati mahasiswa pendidikan guru, ia nanti akan menjadi guru yang membalas perlakuan dosen di masa lalu pada peserta didiknya. Atau, menanam benih dendam di hati mahasiswa yang berbakat menjadi poitisi, ia nanti akan menjadi politisi dan menghalkan perilaku tidak wajar yang ia dapatkan semasa kuliah.

Entah jadi apa Indonesia ke depan jika dunia pendidikan terus melahirkan manusia-manusia cacat pola pikir seperti itu.

Tapi mungkin selama ini hanya mahasiswa yang dijadikan sasaran utama atas kemunduran dunia pendidikan Indonesia. Misalnya ada mahasiswa melakukan hal di luar batas, pasti orang-orang ramai menghakimi mahasiswa, tapi kenapa pada dosen tidak?

Padahal tak semua dosen di kampus-kampus punya nalar lurus, mereka juga banyak yang terjerumus dalam perbuatan yang seolaholah benar, padahal salah besar—misalnya mengolah mahasiswa, mengintimidasi mahasiswa, bahkan ada yang sempat melecehkan mahasiswa. Tapi kenapa jarang ada pembahasan lebih lanjut misalnya ada dosen melakukan kesalahan?!

Saya ceritakan hal kecil yang saya alami ketika zaman kuliah dulu, sudah jelas ada dosen melakukan pembajakan mahasiswa baru tapi masih dilindungi oleh petinggi kampus, dan pihak kampus bersama dosen tersebut malah menjadikan mahasiswa sebagai tumbalnya.

Atau seperti kasus dosen yang melempar mahasiswi dengan draf disertasinya sendiri di Riau, hingga mahasiswi tersebut melaporkan masalah yang terjadi ke pihak berwajib. Ada memang pembahasan, tapi hanya sebentar dan tak membuat dosen memiliki predikat buruk, atau tak bermoral, beda hal dengan mahasiswa ketika mengkritisi suatu ketidakwajaran.

Mahasiswa ketika mengkritik suatu ketidakwajaran akan langsung dicap tak bermoral, tak bertika oleh kalangan dosen, termasuk juga cap dari masyarakat luar. Contohnya, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi akan langsung dicap “pasukan nasi bungkus”, daripada demo mending belajar yang benar, mahasiswa zaman sekarang moralnya buruk dan banyak lagi penilaian-penilaian miring lainnya. Saya heran melihat keadaan ini, kenapa mereka gampang menilai apa yang mereka sendiri tidak tahu.

Apa mereka tahu masalah apa yang terjadi di lembaga pendidikan, yang membuat mahasiswa melakukan hal di luar kendali? Apa mereka tahu kelakuan dosen pada mahasiswa hingga mahasiswa melakukan perlawanan? Apa mereka tahu kalau di lembaga pendidikan ada dosen berotak berantakan? Apa mereka tahu nasib dosen-dosen profesional akibat perilaku dosen tak professional itu?

Mereka tahu pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan adalah hal sepele, atau sangat umum dan semua orang tahu, tapi yang saya sayangkan adalah kenapa mereka tak juga mengubah pola pikir ketika mengkaji masalah yang terjadi saat ini. Menurut saya, perilaku semacam itu menandakan bahwa saat ini banyak pola pikir orang-orang berpendidikan mengalami gangguan.

Jadi, misalnya ada seorang dosen matimatian menghalangi mahasiswa bersikap kritis terhadap sesuatu yang tidak wajar, perlu Anda tanya apakah saat dosen tersebut melamar pekerjaan di kampus Anda dulu dalam keadaan waras atau sedang mengalami gangguan jiwa.

Jadi Dosen Untuk Apa?!

Banyak orang berambisi kuliah S2 biar bisa jadi dosen, untuk apa?! Biar bisa pamer ke kawan-kawan karena jadi dosen, biar merasa jadi dewa dan selalu ingin dihormati mahasiswa, atau memang benarbenar ingin memperbaiki pola pikir generasi muda dan memajukan dunia pendidikan Indonesia?

Atau malah ada yang termotivasi jadi dosen agar bisa membalas perlakuan dosen selama kuliah dulu sambil bersabda: “Ini mendidik mental kalian, seperti kami dididik dosen dulu waktu kuliah!”

Itu sabda sampah yang sering saya dengar dari kalangan dosen ketika ada mahasiswa mengeluh atas perlakuan dosen pada dirinya. Banyak dosen bersabda seperti itu agar terhindar dari kritik, atau untuk sekadar mencari muka pada petinggi perguruan tinggi agar terlihat bahwa ia adalah seorang dosen profesional.

Di Indonesia ini banyak sekali dosen yang gemar melakukan pseudo agar terlihat seolaholah intelek, bermoral, beretika, dan profesional. Padahal pseudo berbahaya jika dilakukan kalangan dosen, karena bisa menyebabkan kerusakan pada pola pikir generasi muda ke depannya.

Saya khawatir mereka akan menganggap benar segala hal yang dilakukan para dosen meskipun perbuatan itu salah dan merugikan banyak pihak. Mari berpikir!* || sunaryo jw

Thursday, 17 January 2019

Merenovasi Alur Berpikir


Memang kurang nyaman rasanya ketika mendengar orang-orang mengatakan mahasiswa di zaman ini tak lagi punya etika kepada dosen, tanpa mengetahui apa yang dialami mahasiswa selama menjalani proses pendidikan. Menurut saya, predikat (tak beretika) itu samasekali tak berdasar, karena hanya bersumber dari pengelihatan sekilas.

Mestinya orang-orang juga menyadari bahwa di kampus juga ada dosen yang gemar berperilaku “pseudo”, yang mestinya kita sadari bersama adalah: apabila ada mahasiswa berani melakukan hal di luar batas, belum tentu itu atas kemauan dirinya sendiri, bisa jadi hal itu mereka lakukan karena tertekan atau karena melihat ketidakwajaran yang didiamkan dalam kampusnya sendiri.

Tentu, tak hanya mahasiswa sebenarnya, tapi semua orang pasti akan merasa tak nyaman jika terus dihadapkan dengan keadaan tak wajar, dan bisa jadi di sinilah mulanya tumbuh sikap menentang di hati seseorang yang mengalaminya (mahasiswa). Jadi, menurut saya, predikat yang disematkan masyarakat pada mahasiswa di zaman ini sangat tak masuk akal, seolah mereka hanya menghakimi satu pihak dan mendewakan pihak lain (dosen).

Apalagi sekarang memang banyak kampus di Indonesia yang justru nyaman menutupi masalah internal kampus, mereka pun beranggapan kalau masalah internal adalah aib dan pantang diketahui oleh masyarakat. Tapi, justru, ada yang tidak mereka pikirkan di sini, yaitu nasib mahasiswa. Setiap orang mestinya cerdas dalam mengkaji masalah ini, karena realita yang terjadi saat ini memang berdampak pada buruknya citra mahasiswa di mata semua kalangan.

Efek Fatal

Tidak semua mahasiswa mau dididik kebohongan, apalagi mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi-diskusi dengan komunitas atau para cendekia di luar jam kampus mereka. Tentu saja ada perbedaan sikap mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi dengan mahasiswa yang hanya mendewakan dosen—sekalipun dosen itu dalam posisi salah.

Biasanya, para penentang ketidakwajaran itu mayoritas adalah mahasiswa yang aktif mengikuti diskusi di luar kampus, tapi justru merekalah mahasiswa yang dicap tak punya etika oleh masyarakat bahkan dosen mereka sendiri. Alangkah tak masuk akal jika mahasiswa baru akan dianggap beretika bila selalu manut pada dosen, dan merasa nyaman hidup dalam ketidakwajaran.

Lalu, apa artinya mereka kuliah kalau hanya untuk dididik jadi intelektual munafik berijazah?! Sementara mereka adalah calon-calon cendekia yang mesti turut bertanggungjawab dalam memajukan bangsa dan negara, baik itu pada bidang pendidikan ataupun bidang lain. Kenapa para calon cendekia itu justru tidak diajarkan bagaimana cara menenun kejujuran?

Alangkah berbahayanya jika mahasiswa justru dituntut mesti seragam, tak boleh berseberangan pendapat dengan dosen, tak boleh menentang kebijakan kampus (sekalipun itu tidak wajar) jika tak ingin dicap tak punya etika. Saya membayangkan misalnya pola ini masih tetap dipakai dalam perguruan tinggi, maka besar kemungkinan populasi mahasiswa berpaham fasis akan membludak setiap tahun dari seluruh kampus di Indonesia.

Mulai Mengedepankan Kejujuran

Oleh sebab itu, para dosen dan orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti merenovasi alur berpikir, agar masyarakat tidak selalu ikut menghakimi para mahasiswa di zaman ini. Karena hal di luar batas yang dilakukan oleh mahasiswa tidak sepenuhnya keinginan mereka sendiri, tentu mereka memiliki referensi, dan referensi itu jelas adanya di lingkungan kampus mereka sendiri.

Mestinya dosen berhenti mengajarkan ilmu kebohongan, mulailah bersikap serta mengajarkan ilmu kejujuran pada mahasiswa, agar mereka tak sekadar jadi intelektual munafik berijazah setelah menyelesaikan pendidikannya nanti; sebab tugas cendekiawan antara lain adalah mengatakan raja telanjang, bila kenyataannya memang demikian, dan bukan memolesnya dengan kiasan palsu. (Albert Camus, 1988: 45).

Tapi, mungkin, mayoritas mahasiswa saat ini lebih banyak yang takut untuk bersikap jujur daripada takut kepada tuhan. Karena, ketika ingin bersikap jujur mereka pun menganggap intimidasi dosen lebih tinggi derajatnya daripada tuhan, sehingga banyak mahasiswa yang takut berkata “jujur”, atau mengkritisi kebijakan yang tidak wajar di lingkungan kampusnya sendiri. Hal ini menurut saya disebabkan oleh pola pendidikan yang diterima mereka dari para dosen, dan memang para dosen pun kebanyakan paling takut melihat mahasiswa ketika mereka melakukan kejujuran.

Mestinya kampus memelihara lebih banyak orang baik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik pula. Tapi, entah kenapa saat ini kampus malah lebih banyak memelihara orang-orang tak baik, yang hanya memikirkan untung bagi dirinya sendiri tanpa peduli dampak buruk yang akan dialami mahasiswa di kemudian hari. Padahal, tak seorangpun, hingga saat ini, meragukan bahwa orang "baik" mewakili sebuah nilai yang lebih tinggi daripada yang "jahat", dalam batas-batas memelihara dan memanfaatkan umat manusia secara garis besar, bahkan menganggapnya sebuah pandangan lama. (Friedrich Nietzsche , 2001, 11).


Tentu dapat kita bayangkan bagaimana jika lembaga pendidikan hanya dihuni oleh orang-orang yang tak punya tujuan untuk melahirkan orang-orang berkualitas agar dapat memperbaiki kebobrokan yang terjadi selama ini. Itulah sebab, orang-orang yang bertanggungjawab atas dunia pendidikan mesti mulai merenovasi alur berpikir mereka, karena dengan merenovasi alur berpikir maka mahasiswa akan otomatis ikut mengubah alur berpikir mereka juga.||sunaryo jw

||

Sumber:
http://harian.analisadaily.com/opini/news/merenovasi-alur-berpikir/678271/2019/01/15

Sunday, 11 November 2018

Membaca Lembaga Pendidikan Indonesia



“Banyak orang mengorbankan segalanya demi kepalsuan”. (Albert Camus)

Saya setuju dengan pernyataan Albert Camus tersebut; banyak orang rela mengorbankan segalanya demi kepalsuan, apalagi dalam dunia perguruan tinggi. Percaya atau tidak, saat ini lebih banyak dosen perguruan tinggi yang berlebihan ketika membela “kampus”; bahkan mereka rela jadi munafik demi nama baik bagi tempat yang sebenarnya tak baik. Dosen-dosen semacam itupun akan mengatasnamakan “pendidikan” apabila publik meminta pertanggungjawaban atas keadaan yang terjadi di perguruan tinggi tempat mereka mencari kehidupan.

Seperti halnya pernyataan Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam, ketika menyayangkan sikap Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM, mengenai kasus pemerkosaan yang dialami oleh mahasiswi UGM ketika menjalani proses KKN. Pernyataan Dekan FT UGM tersebut dimuat media Tirto.id (Beda sikap BEM dan Dekan FT UGM soal Perkosaan Mahasiswa), edisi 08 November 2018.

Dalam berita itu, saya melihat Dekan FT UGM seolah kecewa atas berita yang diterbitkan Balairung Press; dia menyayangkan media internal itu karena mem-blow up kasus pemerkosaan, “seolah-olah ada pembiaran, padahal kan tidak” (kata dia). Tapi, saya justru menganggap sikap Dekan FT UGM ini keterlaluan; terlalu nampak kalau dia tak mau publik beranggapan jelek terhadap kampus itu!

Meski boleh mati-matian membela nama baik sebuah institusi; tapi kalau dalam membela nama baik justru membuat kita tidak jujur, menurut saya percuma jadi manusia dengan gelar tinggi; apalagi berani mengatasnamakan “pendidikan” demi menutupi ketidakwajaran yang terjadi. Usul saya bagi dosen-dosen, kalau tak sanggup lebih baik berhenti jadi dosen daripada jadi sampah dalam dunia pendidikan Indonesia.

Melihat kejadian semacam ini, tiba-tiba saya terkenang kejadian yang saya alami bulan November 2017 lalu; saat saya masih jadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Padangsidempuan. Saat itu, saya menentang sikap ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang malah ikut mendukung pembajakan mahasiswa baru, dan pihak kampus pun melakukan hal serupa dengan Dekan FT UGM ini; menyayangkan sikap saya yang membongkar ketidakwajaran.

Saya pun heran melihat dunia pendidikan saat ini, kenapa ketika kita bersikap jujur justru diintimidasi, tapi bila kita berbakat jadi penipu malah dilindungi dan bahkan ada yang sampai diberi beasiswa oleh perguruan tinggi. Kenapa banyak perguruan tinggi cuma memikirkan cara menjaga nama baik, tapi tak ada niat memperbaiki sistem dan mendidik mahasiswa agar dapat mengubah keadaan bangsa ini?!

Kalau cuma sekadar nama baik kampus itu urusan gampang, mau itu terbaik tingkat kabupaten, propinsi, atau bahkan se-Indonesia; asal kuat duit dan ada mahasiswa yang mau dipelihara jadi agen yang macet dalam kejujuran, niscaya kampus akan memiliki nama baik meski ada ketidakwajaran-ketidakwajaran yang terjadi di dalamnya.

Padahal, menurut saya itu bukan tujuan pendidikan sebenarnya, tapi entah kenapa malah banyak perguruan tinggi justru terobsesi ingin diakui terbaik meski sebenarnya perguruan tinggi itu tak memiliki konsep jelas dalam membangun kualitas Sumber Daya Manusia bagi Indonesia. Akibat banyaknya perguruan tinggi yang terkesan asal-asalan dalam membangun konsep pembangunan SDM ini, akhirnya Indonesia pun darurat manusia berkualitas; benar-benar hanya sedikit orang berkualitas di sini, dan itupun selalu ditentang oleh orang-orang yang sok berkualitas itu.

Bahkan, saya juga memiliki pengalaman memuakkan ketika menghadiri acara wisuda sebuah kampus di Padangsidempuan, yang dihadiri oleh Koordinator Kopertis Wilayah. Dalam pidatonya, menurut saya dia memuji kampus itu terlalu berlebihan; dengan sangat percaya diri dia mengatakan bahwa kampus itu adalah kampus yang senantiasa mengalami perkembangan dari segi kualitas dari waktu ke waktu, dan memiliki dosen-dosen berkualitas, padahal sebenarnya kampus itu samasekali tak memiliki dosen berkualitas apalagi konsep yang jelas!

Sejak saat itu, saya pun mulai meragukan keseriusan (banyak) lembaga pendidikan dalam membangun Sumber Daya Manusia berkualitas bagi Indonesia. Percaya tak percaya, banyak lembaga pendidikan di Indonesia justru dijadikan tempat berbisnis, dan mereka pun hanya memikirkan keuntungan. Saya kira, bila pemakluman atas ketidakwajaran ini terus dilakukan maka tak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan dihuni oleh orang-orang tanpa tujuan.*

Sunaryo JW



Tuesday, 6 November 2018

Padangsidempuan Dalam Puisi


Foto: Vina (Kopipaet)

PERIHAL KOTA SALAK

1/

Manakala pejabat menyodomi trotoar,
Empu-empu hukum yang rutin
menangkapi walang-walang kecil
di jalan raya
malah berpaling muka.

2/

Bahkan saat penghulu kota madya
membangun vila di tengah kemandulannya
sebagai lelaki beristri,
media justru menyabdakan:

Sebab dialah penghulunya
kota sekarang sehat, maju, dan sejahtera.
Sebab dialah penghulunya
tak ada lagi lubang di jalan kota.

Mari!
sama-sama mengaminkannya.

3/

Alangkah nyaman hidup orang
di kota salak, boleh lobi-lobi
biar bisa ngopi bareng pak mentri.

Tapi, di sini
tak boleh jadi pemberontak
kalau mau bebas beranak-pinak.

----------------------
Januari 2018
----------------------

SIMARSAYANG
: potret asmara di Sidempuan.

Di pondok satu kali satu itu
Aku mendengar bisik
tipu daya asmara:

‘Percayalah, aku pasti datang
meminangmu, Sayang’

Ia mengangguk.

‘Jangan takut, Sayang,
tak ada yang berani
menangkap kita di sini,
Sebab, mereka pun bayar
uang keamanan’

Lalu, berpadulah
dua pusaka insan
tak berjasa itu

di situ,
di tempat-tempat
yang memang disediakan
untuk orang-orang
memadu pusaka.
--------------------
Januari 2018
--------------------

*Sunaryo JW

Friday, 2 November 2018

Puisi-Puisi Sunaryo JW



POTRET LEMBAGA PENDIDIKAN

/1/

Lembaga pendidikan, kereta api
mogok di terowongan panjang
tanpa lampu;

ada penumpang teriak minta tolong
ada penumpang diam seperti batu

ada penumpang marah-marah
minta petugas nyalakan lampu

ada penumpang bicara:

‘Sudahlah, kau tak usah marah-marah
duduk saja di bangkumu, kita semua
pasti keluar dari terowongan gelap ini.’

tapi,

ada penumpang milih bertahan
ada penumpang resah keluar pintu

—jalan kaki, menjauhi kereta itu
mencari ujung terowongan sendiri.

/2/

Penumpang dan kereta, telur ayam
dengan induk yang mengeraminya;

ada telur jadi anak ayam jantan
ada telur jadi anak ayam betina

ada telur tak jadi apa-apa!

/3/

Alangkah banyak kereta
mogok di terowongan
tanpa lampu;

tapi penumpang tak lagi
mau berpikir menyalakan api

penumpang tak lagi
mau belajar pada arus kali

penumpang memilih diam
beriman pada ketakutan

dan mazhab para masinis
yang beriman pada kemunafikan.

dan akhirnya, lembaga-lembaga pendidikan itu
hanya mampu melahirkan intelektual-intelektual
munafik berijazah, dari zaman ke zaman.

---------------------------------------
Padangsidempuan, Juli 2018
--------------------------------------- 

KESIMPULAN

Ini mungkin bukan kota
tapi semacam tulisan tanpa tanda baca;

ada kendaraan bebas parkir
di trotoar depan kantor wali kota

ada lembaga pendidikan macet
meghasilkan intelektual jujur

tapi kenapa kalian sebut ini
kota pendidikan?

Di sini aku bahkan tak melihat
lampu merah, apalagi museum.

‘Ois dah!

Kau ini seperti bocah yang baru belajar
mengeja huruf dan angka-angka saja;

ini kota kan kita punya
kau juga bisa melakukan apa saja di sini,

tapi, ya, kau harus bisalah
bergaul dengan mereka’ katamu.

‘Punya dua muka maksudmu?’

‘Nah, tepat sekali, kerna hanya orang orang semacam itulah
yang dijamin aman sentosa hidup di sini;

apabila kau memaksakan diri jadi semacam konjungsi
sungguh, tak akan nyaman hidup di sini’ katamu.

Ah…!

Mungkin aku lebih nyaman jika pergi saja.

-------------------------------------------
Padangsidempuan, Agustus 2018
-------------------------------------------


Saturday, 27 October 2018

Tak Perlu Kuliah, Asal Punya Tujuan


Lebih baik tak usah kuliah, jika kuliah hanya untuk terlihat “keren”; orang kuliah mesti punya tujuan, bukan cuma untuk sekadar pamer gelar (Sarjana, Magister dan Doktor) di depan orang-orang yang tak kuliah. Tapi mirisnya, di zaman ini justru banyak orang memilih kuliah agar dipandang berwibawa saja, tak banyak yang benar-benar berpikir dirinya kuliah untuk tujuan apa.

Meski pada akhirnya seseorang yang kuliah akan menyandang gelar, tapi sebenarnya gelar tak selamanya bisa dijadikan indikator untuk menilai kualitas seseorang. Karena belum tentu orang dengan banyak gelar lebih berkualitas dibanding orang tanpa gelar, atau bahkan tak tamat sekolah dasar. Mungkin sekadar contoh, para “koruptor di Indonesia”. Para koruptor di Indonesia ini rata-rata bergelar tinggi dan bahkan ada yang tamatan luar negeri; tapi tak perlulah saya sebut satu per satu orang-orang itu di sini, karena kita sudah saling tahu bahwa di Indonesia amat banyak sekali koruptor.

Tak hanya para koruptor sebenarnya, dosen-dosen di zaman ini pun sebenarnya banyak yang tak berkualitas. Masih banyak perguruan tinggi di Indonesia ini yang memelihara orang yang tak sepantasnya jadi dosen; mereka pun digaji, dan kadang mencari tambahan uang masuk dari “mengolah mahasiswa”. Mereka itu rata-rata bergelar Magister, malah ada juga yang bergelar Doktor.

Ada beberapa kemungkinan kenapa orang-orang semacam mereka bisa menjadi dosen di perguruan tinggi, antara lain: mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan (atau malah hubungan asmara) dengan petinggi perguruan tinggi, atau bisa jadi memang perguruan tinggi itu yang tidak selektif ketika menerima tenaga pengajar bagi perguruan tinggi itu sendiri. Saya kira orang-orang seperti merekalah yang menghambat kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.

Selain menghambat kemajuan SDM, sebenarnya mereka juga menjadi penghalang bagi para dosen berkualitas untuk menciptakan perubahan. Karena dosen-dosen berkualitas pasti kalah dengan orang semacam mereka; dosen berkualitas tak pandai “menjilat” sementara mereka kalau tak “menjilat” tak akan puas rasanya hidup mereka. Namun sayangnya, populasi dosen berkualitas saat ini tak banyak, sehingga citra “profesi dosen” kini tak jarang dipandang hina akibat ulah orang-orang yang tak seharusnya menjadi dosen itu.

Dugaan saya, sewaktu kuliah orang-orang seperti mereka memang tak pernah berpikir ingin mengubah tradisi basi yang ada selama ini, makanya ketika mereka (merasa) jadi dosen pun tak pantas digugu dan ditiru—malah pantasnya mereka didepak dari perguruan tinggi itu segera.

Selalu Menghamba Pada Yang Salah

Entah kenapa di zaman ini semakin banyak dosen menghamba pada yang salah, bahkan matimatian berusaha menyingkirkan dosen-dosen yang tak mau mengikuti sistem pada perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Sebenarnya mereka tahu perbuatan mereka salah, tapi karena alasan jabatan mereka pun rela menggadaikan kejernihan berpikir demi membela ketidakwajaran.

Lalu apa artinya orang-orang itu dulu kuliah tinggi kalau hanya untuk beriman pada ketidakwajaran? Orang-orang itu juga nyaman menjadi hamba pemilik perguruan tinggi, dan demi jabatan dan gaji bulanan mereka akan selalu siap memberantas dosen-dosen (atau mahasiswa) yang tak setuju dengan sistem di dalamnya.

Keadaan di atas sekilas mirip dengan keadaan kaum buruh Rusia yang dijelaskan Lenin dalam bukunya, Kepada Kaum Miskin Desa (1903); “Semua rakyat dalam keseluruhannya tetap tinggal hamba kaum birokrat, persis seperti petani-petani dulu adalah hamba tuan tanah”. Begitu juga yang terjadi pada dosen di banyak perguruan tinggi Indonesia saat ini; banyak orang-orang bergelar tinggi hanya jadi hamba pemilik perguruan tinggi.

Memang amat disayangkan, bertahun-tahun mereka kuliah dan menghabiskan banyak biaya akhirnya cuma jadi sampah dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Orang-orang itu merasa bangga memiliki gelar dan jabatan di perguruan tinggi, bicaranya melulu soal moral dan etika, tetapi mereka sendiri nyaman hidup dalam kemunafikan.

Jika lembaga pendidikan hanya menyebabkan seseorang jadi tukang olah, lalu untuk apa ada lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah ataupun swasta. Misalnya selama ini lembaga pendidikan dikelola dengan benar dan memiliki tujuan yang jelas, saya yakin tak akan ada sampah di lembaga pendidikan ataupun lembaga pemerintahan.

Dan, apabila sistem dalam lembaga pendidikan telah berjalan seperti seharusnya, maka saya yakin bahwa setiap orang yang kuliah saat ini pasti akan punya tujuan untuk mengubah keadaan, bukan sekadar dapat gelar lalu dipamerkan.

Sebagaimana dikatakan Roem Topitamasang perihal sekolah dan segala macam atribut dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (2010), bahwa sekolah, pada akhirnya memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadah lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan.

Bila kita melihat keadaan saat ini, memang sudah bukan waktunya lagi kita pamer gelar tinggi atau pamer jabatan sebab mengajar di perguruan tinggi. Justru yang seharusnya kita pikirkan saat ini adalah bermanfaat atau tidak lembaga pendidikan bagi kemajuan Sumber Daya Manusia di Indonesia. Tak perlu lagi lembaga pendidikan Indonesia memelihara dosen yang serba seolaholah seperti kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Karena sebenarnya memelihara orang-orang semacam mereka justru akan menyebabkan perguruan tinggi selalu melahirkan sampah-sampah baru di Indonesia. Sekarang mari kita bayangkan apa yang akan terjadi pada dunia pendidikan Indonesia jika dosen-dosen di waktu yang akan datang adalah hasil didikan orang-orang semacam mereka saat ini, lalu dosen-dosen generasi berikutnya juga dididik oleh generasi (sampah) sebelumnya; jawabnya, dunia pendidikan Indonesia akan semakin memprihatinkan.

Misalnya saya diminta berpendapat perihal dunia pendidikan saat ini, maka saya akan mengatakan bahwa kalian tak perlu kuliah, asal punya tujuan—tujuan untuk mengubah sistem yang selama ini disalahgunakan. Dunia pendidikan saat ini benarbenar tak membutuhkan sekadar gelar tinggi, tetapi orang-orang yang berpikir maju dan tidak macet dalam inovasi.*

Sunaryo JW

Friday, 26 October 2018

Kecerdasan Profesi


Membajak sudah jelas kerja petani, bukan kerja dosen perguruan tinggi. Kalau mereka ikut-ikutan mem­bajak, sama dengan mereka mele­cehkan profesi petani. Saya me­naruh hormat kepada dosen urakan yang mampu mengubah pola pikir, tinimbang dosen rapi yang hanya mempersempit, atau malah mengo­tori pola pikir mahasiswanya.
Lucunya, di Kota Padang­sidem­puan banyak akademisi (dosen) yang tidak tahu malu, mereka sangat percaya diri dan bangga dengan status kedosenannya, padahal mereka sedang merendahkan pro­fesi petani. Mereka yang seharusnya cerdas berprofesi, justru tidak mencerminkan kecerdasan yang dibangga-banggakannya itu di lingkungan kampusnya.
Berkedok kegiatan mahasiswa, biasanya dosen perguruan tinggi beralih peran jadi petani berdasi. Para dosen yang beralih peran akan melupakan TUPOKSI sementara waktu, tapi ada juga yang melu­pakan selamanya. Lebih parah lagi, mereka tidak hanya rajin membajak mahasis­wa, melainkan sesama dosen (dosen baik) yang memang benar-benar lurus, dan cerdas dalam berprofesi.
Hal ini sengaja mereka lakukan karena takut bila dosen yang benar-benar cerdas berprofesi itu akan mengancam keberadaan mereka saat membajak mahasiswa (teru­tama mahasiswa baru, dan maha­siswa semester akhir). Kasihan betul masyarakat yang berprofesi sebagai petani kalau pekerjaan mereka diambil alih para akademisi (dosen) perguruan tinggi.
Dalam masalah ini, seharusnya Badan Eksekutif Ma­hasiswa (BEM) berada di garis depan untuk mem­bela hak mahasiswa-BEM harus men­dalami keluhan mahasiswa yang merasa tertekan dengan tindakan dosen. Karena pemegang kebijakan tertinggi di kalangan mahasiswa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Tidak bisa dipungkiri, banyak oknum yang memanfaatkan kegia­tan mahasiswa sebagai ajang mem­perkaya diri; salah satunya dosen. Dosen tipe ini biasanya tidak paham apa-apa, hakikat kedosenannya pun perlu diragukan! Tapi, di sini mere­ka akan menjelma manusia yang sok paham betul tentang segala hal, sebenarnya mereka bodoh.
Dalam kekacauan ini, BEM seharusnya hadir di tengah masyara­kat kampus yang terlanjur takut. Mereka harus cerdas mengkaji permasalahan dengan turun lang­sung men­cari tahu, dan mendengar betul suara mahasiswa yang diam karena tekanan dosen-BEM harus betul-betul memper­juangkan hak mahasiswa yang tertekan ini, karena yang memilih mereka adalah mahasiswa bukan dosen.
BEM bersama dosen bidang kemahasiswaan orang yang paling bertanggungjawab atas masalah ini-bukan malah ikut mendukung tin­dakan dosen yang memanfaatkan mo­­ment. Mereka harus cerdas meng­­kaji persoalan; kenapa maha­siswa yang awalnya di belakang bicara menolak, tiba-tiba diam dan meng-iya-kan sesuatu saat dihadap­kan dengan dosen.
Kalau memang mereka cerdas berprofesi, di sini mereka seharus­nya menaruh curiga. Tapi, celaka­nya di Padang Sidempuan ini berbe­da-hanya beberapa kampus di Padang Si­dempuan yang organisasi BEM-nya perduli terhadap kesejah­teraan masyarakat kampus yang dipimpinnya-selebihnya mandul.
Memang betul, melogika keada­an bukan hal yang mudah, juga tidak semua orang bisa menggunakan ke­pekaan mereka untuk mencurigai keadaan yang tak logis. Tapi di sini­lah sebenarnya profesi mereka diuji. Apakah mereka hanya mampu mengguna­kan logika untuk meng­kaji keuntu­ngan pribadi, atau mereka menggu­nakan logika untuk mengkaji ketidaklogisan yang terjadi di dalam kampusnya.
Melepas jubah kebesaran
Seorang pemimpin yang adil bukan yang enak-enakan duduk di kursi membanggakan jubah kebesa­rannya. Mereka yang betul-betul membela rakyat harus melepas jubah untuk menelusuri keadaan di masyarakat. Tak jarang pemimpin yang menyamar jadi masyarakat biasa untuk menelusuri kejahatan anggotanya. Mereka (pemimpin) yang benar-benar membela kesejah­teraan masyarakat tidak akan malu sekalipun harus menyamar jadi tukang sapu.
Seperti dimuat Merdeka.Com, Selasa, 18 Oktober 2016. Seorang  Kapolda Sumsel Irjen Pol Djoko Prastowo, yang menyamar sebagai warga sipil dan berpura-pura melanggar lalu lintas. Hasilnya, Djoko menemukan kejadian itu dan menangkap langsung anggota Polri yang melakukan pungli.
Bukan hanya Kapolda Sumsel yang sempat menyamar, Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam IM) Mayjen TNI Agus Kriswanto juga pernah menyamar jadi penarik becak motor (Betor), saat menyidak asrama TNI PHB Lam­priet Banda Aceh, untuk melihat kesiapan dalam rangka menyambut HUT Kemerde­kaan RI Ke-70. Berita ini dimuat oleh DetikNews, Minggu (16/8/2015). Dalam hal ini, saya mengang­gap mereka paham dan cerdas dalam berprofesi.
Kembali pada cerita sebelumnya, permasalahan yang timbul di kalangan mahasiswa seharusnya ditangkap oleh BEM, dan mereka wajib menelusuri sampai akar perma­salahan. Semua itu harus dilakukan untuk mewujudkan ke­se­jahteraan serta kenyamanan mahasiswa dalam meng­ikuti proses pembelajaran.
Di sini, dosen bidang kemaha­siswaan juga harus men­jembatani suara mahasiswa yang disampaikan oleh BEM. Dosen bidang kemaha­siswaan tak boleh bersikap subjek­tif, dia harus netral. Begitu juga saat menyikapi masalah, dia tak boleh pro kepada dosen yang diduga me­lakukan tindakan inter­vensi kepada mahasiswa.
Jabatannya saja bidang kema­hasis­waan, ya harus siap mendengar keluh-kesah mahasiswa-bukan malah menutupi kebusukan rekan sejawat mereka (dosen), dengan mengadu domba mahasiswa. Orang yang pantas menduduki posisi bidang kemahasiswaan ini memang harus pandai me­nimbang, bukan pandai menghitung untung di belakang.
Karena, dalam setiap perma­sa­lahan yang terjadi di kalangan ma­ha­siswa, bidang kemahasiswaan ditun­tut harus cerdas berprofesi. Sekalipun di mejanya ada bukti surat pernyataan mahasiswa telah meng-iya-kan se­suatu yang awalnya mere­ka tolak, dia tak boleh percaya begitu saja. Dia harus melepas jubah kebe­sarannya dan turun langsung-dia harus bisa melogika ketidaklogisan ini.
Tapi sekali lagi, hanya beberapa kampus di Padang Si­dempuan yang memiliki dosen kemahasiswaan cerdas dalam berprofesi, selebihnya mandul. Di sini, Badan Ekse­kutif Mahasiswa juga mayoritas hanya patuh dan taat terhadap perintah dosen tinimbang membela kesejah­teraan rakyat kampus (mahasiswa).
Padahal, rata-rata tempat pendi­dikan di kota Padang Si­dempuan berusia puluhan tahun. Usia ini kalau diibaratkan manusia, mungkin saat ini mereka sudah paruh baya. Jika dalam usia paruh baya tidak juga bisa menjadi contoh, lantas mengapa mereka bersikeras menye­but kota ini sebagai Kota Pendidi­kan?
Alangkah lucunya dunia pendi­dikan di kota ini, kota pendidikan yang seharusnya mampu mempro­duksi SDM ber­kualitas, malah lebih produktif melahirkan dan meme­lihara angkatan gagap yang tidak cerdas berprofesi. Mi­ris!***
Sunaryo JW
Sumber: http://harian.analisadaily.com/opini/news/kecerdasan-profesi/485242/2018/01/13