Tak Perlu Kuliah, Asal Punya Tujuan
Lebih baik tak usah
kuliah, jika kuliah hanya untuk terlihat “keren”; orang kuliah mesti punya tujuan,
bukan cuma untuk sekadar pamer gelar (Sarjana,
Magister dan Doktor) di depan orang-orang yang tak kuliah. Tapi mirisnya,
di zaman ini justru banyak orang memilih kuliah agar dipandang berwibawa saja,
tak banyak yang benar-benar berpikir dirinya kuliah untuk tujuan apa.
Meski pada akhirnya
seseorang yang kuliah akan menyandang gelar, tapi sebenarnya gelar tak
selamanya bisa dijadikan indikator untuk menilai kualitas seseorang. Karena belum
tentu orang dengan banyak gelar lebih berkualitas dibanding orang tanpa gelar,
atau bahkan tak tamat sekolah dasar. Mungkin sekadar contoh, para “koruptor di
Indonesia”. Para koruptor di Indonesia ini rata-rata bergelar tinggi dan bahkan
ada yang tamatan luar negeri; tapi tak perlulah saya sebut satu per satu
orang-orang itu di sini, karena kita sudah saling tahu bahwa di Indonesia amat
banyak sekali koruptor.
Tak hanya para
koruptor sebenarnya, dosen-dosen di zaman ini pun sebenarnya banyak yang tak
berkualitas. Masih banyak perguruan tinggi di Indonesia ini yang memelihara orang
yang tak sepantasnya jadi dosen; mereka pun digaji, dan kadang mencari tambahan
uang masuk dari “mengolah mahasiswa”. Mereka itu rata-rata bergelar Magister,
malah ada juga yang bergelar Doktor.
Ada beberapa
kemungkinan kenapa orang-orang semacam mereka bisa menjadi dosen di perguruan
tinggi, antara lain: mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan (atau malah
hubungan asmara) dengan petinggi perguruan tinggi, atau bisa jadi memang
perguruan tinggi itu yang tidak selektif ketika menerima tenaga pengajar bagi
perguruan tinggi itu sendiri. Saya kira orang-orang seperti merekalah yang
menghambat kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.
Selain menghambat
kemajuan SDM, sebenarnya mereka juga menjadi penghalang bagi para dosen
berkualitas untuk menciptakan perubahan. Karena dosen-dosen berkualitas pasti
kalah dengan orang semacam mereka; dosen berkualitas tak pandai “menjilat”
sementara mereka kalau tak “menjilat” tak akan puas rasanya hidup mereka. Namun
sayangnya, populasi dosen berkualitas saat ini tak banyak, sehingga citra “profesi
dosen” kini tak jarang dipandang hina akibat ulah orang-orang yang tak
seharusnya menjadi dosen itu.
Dugaan saya,
sewaktu kuliah orang-orang seperti mereka memang tak pernah berpikir ingin
mengubah tradisi basi yang ada selama ini, makanya ketika mereka (merasa) jadi
dosen pun tak pantas digugu dan ditiru—malah pantasnya mereka didepak dari
perguruan tinggi itu segera.
Selalu Menghamba Pada Yang Salah
Entah kenapa di
zaman ini semakin banyak dosen menghamba pada yang salah, bahkan matimatian berusaha
menyingkirkan dosen-dosen yang tak mau mengikuti sistem pada perguruan tinggi tempat
mereka bekerja. Sebenarnya mereka tahu perbuatan mereka salah, tapi karena
alasan jabatan mereka pun rela menggadaikan kejernihan berpikir demi membela
ketidakwajaran.
Lalu apa artinya
orang-orang itu dulu kuliah tinggi kalau hanya untuk beriman pada
ketidakwajaran? Orang-orang itu juga nyaman menjadi hamba pemilik perguruan
tinggi, dan demi jabatan dan gaji bulanan mereka akan selalu siap memberantas
dosen-dosen (atau mahasiswa) yang tak setuju dengan sistem di dalamnya.
Keadaan di atas sekilas
mirip dengan keadaan kaum buruh Rusia yang dijelaskan Lenin dalam bukunya, Kepada Kaum Miskin Desa (1903); “Semua rakyat
dalam keseluruhannya tetap tinggal hamba kaum birokrat, persis seperti
petani-petani dulu adalah hamba tuan tanah”. Begitu juga yang terjadi pada
dosen di banyak perguruan tinggi Indonesia saat ini; banyak orang-orang
bergelar tinggi hanya jadi hamba pemilik perguruan tinggi.
Memang amat disayangkan,
bertahun-tahun mereka kuliah dan menghabiskan banyak biaya akhirnya cuma jadi
sampah dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Orang-orang itu merasa bangga
memiliki gelar dan jabatan di perguruan tinggi, bicaranya melulu soal moral dan
etika, tetapi mereka sendiri nyaman hidup dalam kemunafikan.
Jika lembaga
pendidikan hanya menyebabkan seseorang jadi tukang olah, lalu untuk apa ada
lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah ataupun swasta. Misalnya selama ini
lembaga pendidikan dikelola dengan benar dan memiliki tujuan yang jelas, saya yakin
tak akan ada sampah di lembaga pendidikan ataupun lembaga pemerintahan.
Dan, apabila sistem dalam lembaga pendidikan telah berjalan
seperti seharusnya, maka saya yakin bahwa setiap orang yang kuliah saat ini pasti
akan punya tujuan untuk mengubah keadaan, bukan sekadar dapat gelar lalu
dipamerkan.
Sebagaimana
dikatakan Roem Topitamasang perihal sekolah dan segala macam atribut dalam
bukunya, Sekolah Itu Candu (2010), bahwa sekolah, pada akhirnya
memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu tujuan dan makna
yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadah
lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang
sakral dan mesti dikeramatkan.
Bila kita
melihat keadaan saat ini, memang sudah bukan waktunya lagi kita pamer gelar
tinggi atau pamer jabatan sebab mengajar di perguruan tinggi. Justru yang seharusnya
kita pikirkan saat ini adalah bermanfaat atau tidak lembaga pendidikan bagi kemajuan
Sumber Daya Manusia di Indonesia. Tak perlu lagi lembaga pendidikan Indonesia memelihara
dosen yang serba seolaholah seperti kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia saat
ini.
Karena sebenarnya
memelihara orang-orang semacam mereka justru akan menyebabkan perguruan tinggi
selalu melahirkan sampah-sampah baru di Indonesia. Sekarang mari kita bayangkan
apa yang akan terjadi pada dunia pendidikan Indonesia jika dosen-dosen di waktu
yang akan datang adalah hasil didikan orang-orang semacam mereka saat ini, lalu
dosen-dosen generasi berikutnya juga dididik oleh generasi (sampah) sebelumnya;
jawabnya, dunia pendidikan Indonesia akan semakin memprihatinkan.
Misalnya saya
diminta berpendapat perihal dunia pendidikan saat ini, maka saya akan mengatakan
bahwa kalian tak perlu kuliah, asal punya tujuan—tujuan untuk mengubah sistem
yang selama ini disalahgunakan. Dunia pendidikan saat ini benarbenar tak membutuhkan
sekadar gelar tinggi, tetapi orang-orang yang berpikir maju dan tidak macet
dalam inovasi.*
Sunaryo JW
Mantab!
ReplyDeleteLanjutkan, Brader!
Tengkyu, Brader.
DeleteSalam kreatif!
Mantab djiwa!
ReplyDeleteHidup mahasiswa!
Tengkyu, Unkwon.
DeleteSalam kreatif!
Hidup mahasiswa!
ReplyDeleteHidup mahasiswa!
DeleteTengkyu..
Salam kreatif!