Seputar Dunia Pendidikan

Saturday, 27 October 2018

Tak Perlu Kuliah, Asal Punya Tujuan


Lebih baik tak usah kuliah, jika kuliah hanya untuk terlihat “keren”; orang kuliah mesti punya tujuan, bukan cuma untuk sekadar pamer gelar (Sarjana, Magister dan Doktor) di depan orang-orang yang tak kuliah. Tapi mirisnya, di zaman ini justru banyak orang memilih kuliah agar dipandang berwibawa saja, tak banyak yang benar-benar berpikir dirinya kuliah untuk tujuan apa.

Meski pada akhirnya seseorang yang kuliah akan menyandang gelar, tapi sebenarnya gelar tak selamanya bisa dijadikan indikator untuk menilai kualitas seseorang. Karena belum tentu orang dengan banyak gelar lebih berkualitas dibanding orang tanpa gelar, atau bahkan tak tamat sekolah dasar. Mungkin sekadar contoh, para “koruptor di Indonesia”. Para koruptor di Indonesia ini rata-rata bergelar tinggi dan bahkan ada yang tamatan luar negeri; tapi tak perlulah saya sebut satu per satu orang-orang itu di sini, karena kita sudah saling tahu bahwa di Indonesia amat banyak sekali koruptor.

Tak hanya para koruptor sebenarnya, dosen-dosen di zaman ini pun sebenarnya banyak yang tak berkualitas. Masih banyak perguruan tinggi di Indonesia ini yang memelihara orang yang tak sepantasnya jadi dosen; mereka pun digaji, dan kadang mencari tambahan uang masuk dari “mengolah mahasiswa”. Mereka itu rata-rata bergelar Magister, malah ada juga yang bergelar Doktor.

Ada beberapa kemungkinan kenapa orang-orang semacam mereka bisa menjadi dosen di perguruan tinggi, antara lain: mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan (atau malah hubungan asmara) dengan petinggi perguruan tinggi, atau bisa jadi memang perguruan tinggi itu yang tidak selektif ketika menerima tenaga pengajar bagi perguruan tinggi itu sendiri. Saya kira orang-orang seperti merekalah yang menghambat kemajuan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.

Selain menghambat kemajuan SDM, sebenarnya mereka juga menjadi penghalang bagi para dosen berkualitas untuk menciptakan perubahan. Karena dosen-dosen berkualitas pasti kalah dengan orang semacam mereka; dosen berkualitas tak pandai “menjilat” sementara mereka kalau tak “menjilat” tak akan puas rasanya hidup mereka. Namun sayangnya, populasi dosen berkualitas saat ini tak banyak, sehingga citra “profesi dosen” kini tak jarang dipandang hina akibat ulah orang-orang yang tak seharusnya menjadi dosen itu.

Dugaan saya, sewaktu kuliah orang-orang seperti mereka memang tak pernah berpikir ingin mengubah tradisi basi yang ada selama ini, makanya ketika mereka (merasa) jadi dosen pun tak pantas digugu dan ditiru—malah pantasnya mereka didepak dari perguruan tinggi itu segera.

Selalu Menghamba Pada Yang Salah

Entah kenapa di zaman ini semakin banyak dosen menghamba pada yang salah, bahkan matimatian berusaha menyingkirkan dosen-dosen yang tak mau mengikuti sistem pada perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Sebenarnya mereka tahu perbuatan mereka salah, tapi karena alasan jabatan mereka pun rela menggadaikan kejernihan berpikir demi membela ketidakwajaran.

Lalu apa artinya orang-orang itu dulu kuliah tinggi kalau hanya untuk beriman pada ketidakwajaran? Orang-orang itu juga nyaman menjadi hamba pemilik perguruan tinggi, dan demi jabatan dan gaji bulanan mereka akan selalu siap memberantas dosen-dosen (atau mahasiswa) yang tak setuju dengan sistem di dalamnya.

Keadaan di atas sekilas mirip dengan keadaan kaum buruh Rusia yang dijelaskan Lenin dalam bukunya, Kepada Kaum Miskin Desa (1903); “Semua rakyat dalam keseluruhannya tetap tinggal hamba kaum birokrat, persis seperti petani-petani dulu adalah hamba tuan tanah”. Begitu juga yang terjadi pada dosen di banyak perguruan tinggi Indonesia saat ini; banyak orang-orang bergelar tinggi hanya jadi hamba pemilik perguruan tinggi.

Memang amat disayangkan, bertahun-tahun mereka kuliah dan menghabiskan banyak biaya akhirnya cuma jadi sampah dalam dunia pendidikan. Bagaimana tidak? Orang-orang itu merasa bangga memiliki gelar dan jabatan di perguruan tinggi, bicaranya melulu soal moral dan etika, tetapi mereka sendiri nyaman hidup dalam kemunafikan.

Jika lembaga pendidikan hanya menyebabkan seseorang jadi tukang olah, lalu untuk apa ada lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah ataupun swasta. Misalnya selama ini lembaga pendidikan dikelola dengan benar dan memiliki tujuan yang jelas, saya yakin tak akan ada sampah di lembaga pendidikan ataupun lembaga pemerintahan.

Dan, apabila sistem dalam lembaga pendidikan telah berjalan seperti seharusnya, maka saya yakin bahwa setiap orang yang kuliah saat ini pasti akan punya tujuan untuk mengubah keadaan, bukan sekadar dapat gelar lalu dipamerkan.

Sebagaimana dikatakan Roem Topitamasang perihal sekolah dan segala macam atribut dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (2010), bahwa sekolah, pada akhirnya memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya, pada wadah lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan.

Bila kita melihat keadaan saat ini, memang sudah bukan waktunya lagi kita pamer gelar tinggi atau pamer jabatan sebab mengajar di perguruan tinggi. Justru yang seharusnya kita pikirkan saat ini adalah bermanfaat atau tidak lembaga pendidikan bagi kemajuan Sumber Daya Manusia di Indonesia. Tak perlu lagi lembaga pendidikan Indonesia memelihara dosen yang serba seolaholah seperti kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Karena sebenarnya memelihara orang-orang semacam mereka justru akan menyebabkan perguruan tinggi selalu melahirkan sampah-sampah baru di Indonesia. Sekarang mari kita bayangkan apa yang akan terjadi pada dunia pendidikan Indonesia jika dosen-dosen di waktu yang akan datang adalah hasil didikan orang-orang semacam mereka saat ini, lalu dosen-dosen generasi berikutnya juga dididik oleh generasi (sampah) sebelumnya; jawabnya, dunia pendidikan Indonesia akan semakin memprihatinkan.

Misalnya saya diminta berpendapat perihal dunia pendidikan saat ini, maka saya akan mengatakan bahwa kalian tak perlu kuliah, asal punya tujuan—tujuan untuk mengubah sistem yang selama ini disalahgunakan. Dunia pendidikan saat ini benarbenar tak membutuhkan sekadar gelar tinggi, tetapi orang-orang yang berpikir maju dan tidak macet dalam inovasi.*

Sunaryo JW

6 comments: